Setiap manusia berusaha menyekolahkan
anak-anaknya supaya jadi pintar dan pandai. Setelah lulus sekolah (baik lulus SD, SMP, SMU, S1 dst), tentunya mereka akan
berkarir dengan harapan mendapatkan uang untuk kelangsungan hidup. Disisi lain jumlah tenaga kerja tidak sebanding dengan
dunia kerja.
Ditambah lagi banyak perusahaan besar mem-PHK karyawan. Juga permasalahan
bagi yang sudah dapat kerja. mereka masih banyak yang bingung soal karir dan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahliannya,
ketrampilannya dan minatnya.
Apalagi ditambah budaya indonesia yang
masih mengkristal bahwa dunia kerja itu simbol orang berstatus. Sehingga para generasi muda tidak mau mendekati hal-hal yang
berbau wirausaha, mereka gengsi karena takut tidak berstatus. Paham itu terutama dimiliki oleh orang-orang pribumi, sedangkan
orang-orang warga keturunan memiliki paham sebaliknya. Tentunya pemikiran satu arah di abad ini untuk meniti karir cuma
jadi pekerja adalah akan mengakibatkan penambahan pengangguran yang cukup besar.
Padahal menurut saya keduanya yaitu
bekerja dan berwirausaha adalah sama-sama BERKARIR. Saya mencoba membedah antar kedua karir tsb.
Seorang yang berkarir di dunia kerja
itu ibarat berenang di dalam kolam renang. Kita tahu bahwa kolam renang itu semua serba terbatas. Sedangkan orang yg berkarir
di wirausaha itu ibarat berenang di lautan yang luas. Coba lihat kedua perbedaan tsb dibawah ini:
1. Berenang di Kolam Renang
- Airnya bersih dan tidak asin
- Ukurannya tertentu misalnya luas 50
x 100 meter sehingga kita tidak bisa berenang seluas-luasnya misalnya kita mampupun , kita tidak mungkin menjebol kolam
renang tsb untuk berenang lebih luas.
- Yang bisa berenang mesti punya sertifikat
khusus.
- Tidak ada binatang buas seperti hiu.
- Yang sudah sering renang pasti bisa
berbagai gaya.
- Banyak aturan dari pemilik kolam renang
2. Berenang di Lautan yang luas
- Banyak ombaknya
- Airnya asin
- Banyak binatang buas misal ikan hiu.
- Siapa saja boleh berenang dan tidak
ada sertifikat khusus.
- Ukurannya luas jadi bisa renang sejauh
mungkin kalau mampu mungkin bisa menyebrangi samudra.
Dari perbedaan tersebut maka kita bisa
tahu bahwa dunia kerja memang paling aman, sedangkan wirausaha itu banyak tantangannya dan resiko. Dari perbedaan tersebut
diatas, saya akan coba terjemahkan
Di dunia kerja para pekerja tidak pernah
menanggung resiko kerugian, mereka merasa aman dengan berangkat kerja sesuai aturan, kalau perusahaan untung bisa
dapat bonus, ada tunjangan dan mereka harus mengikuti semua sistem yang ada di perusahaan. Mereka bisa terus naik
karir asal rajin, bisa mendekati atasan dan asal betah di perusahaan tersebut. Tapi tidak semua karir bisa
dilalui, karena dunia kerja itu melihat lulusan terakhir sekolah misal S3( SD, SMP, SMU) atau S1 , S2 atau S3 beneran, pengalaman
kerja dll. Misalnya seorang lulusan S1 belum tentu mendapatkan jabatan manajer karena sekarang banyak sekali orang lulus
MBA. Jadi karir di dunia kerja sangat ditentukan oleh ilmu dan pengalaman. Silahkan baca tulisan
ini
Menurut Sugiharto, Direktur Pengelola CFO PT Medco Energi
Internasional Tbk., saat ini pihaknya memang membutuhkan tenaga-tenaga lulusan MBA. Karena Medco bergerak dalam bisnis pertambangan
upstream dan downstream (eksplorasi minyak dan gas, pengeboran darat dan laut, memproduksi methanol), kebutuhan tenaga MBA
di level operasional hanya dibutuhkan untuk tingkat manajer madya ke atas. Persentasenya, level operasional (di anak perusahaan)
hanya membutuhkan MBA 2%-5%. Namun, makin ke atas (holding), populasi kebutuhan MBA kian banyak, 10%-15%. Pada anak perusahaan,
lulusan MBA biasanya di posisi vice president dan direktur, sedangkan di Grup Medco, semua anggota direksi (15 orang) kebetulan
sudah menggondol MBA semuanya.
Medco menekankan lulusan MBA di level manajemen. Alasan Sugiharto, karena untuk mengelola
perusahaan profesional dan besar membutuhkan skill multidimensional. Tak hanya menguasai aspek produksi, teknis dan pemasaran,
tapi juga keuangan, human capital development, dan aspek manajerial lainnya. "Hanya MBA yang bisa memberikan wawasan kepada
eksekutif untuk mampu berperan aktif dalam pengelolaan perusahaan," jelas lulusan MBA dari Amsterdam School of Management,
Belanda itu.
Pada level operasional, kebutuhan MBA di Medco tergantung posisi. Posisi driller
atau manajer lapangan, membutuhkan karyawan berlatar belakang MBA. Karena, mereka bertugas mengelola orang, teknis dan produksi
sekaligus. Tenaga MBA diperlukan karena perusahaan membutuhkan penerjemahan dalam taktik dan strategi, program dan bujet.
Untuk itu, diperlukan orang yang memiliki keahlian mengelola. "Biasanya wawasan itu hanya dimiliki oleh mereka yang berlatar
belakang MBA," Sugiarto menyimpulkan.
Menurut dia, sosok MBA yang dicari Medco, yang memiliki technical competency sesuai
wilayah tanggung jawabnya. Selain itu, tak kalah penting, mereka harus mempunyai kemampuan problem solving. Dengan kualifikasi
seperti itu, selama ini manajemen Medco mengaku lebih puas jika mendapatkan MBA lulusan luar negeri, seperti Universiats Harvard
atau Insead. Dari 2.500 karyawan Medco, jumlah lulusan S-1 sebanyak 25% dan MBA-nya 2%-5%, ungkapnya.
Setiap perusahaan memiliki budget anggaran
untuk gaji setiap karyawan, karena perusahaan tentunya sudah ada hitungannya semua. Jadi tidaklah mungkin setiap tahun ingin
naik gaji 100%. Dari fenomena di atas, banyak sekali para profesional memburu perusahaan bergaji besar dengan pindah-pindah
kerja(ibaratnya pindah kolam renang).
Berdasarkan buku Robert T. Kiyosaki di
ceritakan bahwa Dia setiap bertemu teman yang baru pindah bekerja, mereka rata-rata menceritakan yang enak-enak
akan tetapi setelah Robert T. kiyosaki bertemu di bulan kemudian, Dia bercerita jelek-jeleknya di perusahaan tersebut.
Itulah kenyataan yang ada dilapangan dan penuh dengan fakta.
Dari keunggulan dan kelemahan tersebut
maka bila berkarir di dunia kerja sebaiknya:
- Bekerjalah yang profesional
- Nikmati pekerjaan tersebut
- Jangan menjelekan perusahaan karena
kenaikan gaji kecil(semua ada budgetnya dan hitungannya)
- Tidak usah main cemburu sesama pekerja,
tidak ada untungnya kalaupun berhasil dengan cara negatif dalam berkarir itu tidak barokhah. Kita juga harus tahu bahwa
yang adil itu cuma tuhan. tetaplah bekerja yang profesional dan ikhlas.
- Kita harus sadar dengan pengalaman
kerja kita juga ilmu yang kita punyai, bila perusahaan masih belum memberi jabatan.
- Kita harus tahu hukum
alam yaitu bahwa Yang sudah punya merek profesional ulet di dunia kerja itu orang Jepang , eropa dan amerika(ibarat
TV merek sony dg Samsung tentu akan dibedakan harganya), itu juga karena faktor orang sono sudah mampu membikin
merek-merek mereka sendiri sebagai keberhasilan kewirausahaan negara tersebut . jadi Kalau kita telah bekerja keras
tapi karir kurang bagus atau gaji dibedakan silahkan baca juga artikel di bawah ini
Go International dengan Gaji Lokal?
Selasa, 23 September 2003 11:26 WIB
- warta ekonomi.com ...
krisis ekonomi yang melanda Asia, ... membuka peluang besar bagi eksekutif lokal untuk berkiprah pada level regional dan internasional.
Hal ini sejalan dengan makin berkurangnya ekspatriasi eksekutif-eksekutif dari negara-negara Barat.
Perkembangan teknologi telah mendorong
terjadinya beberapa perubahan mendasar dalam tata cara berorganisasi. Telepon selular, e-mail, internet, teleconference, atau
video conference, telah membuka mata bahwa jarak sekarang bukanlah masalah yang besar. Oleh karena itu, organisasi sekarang
ini tidak melihat lagi adanya hambatan geografis dalam memilih eksekutif yang akan menduduki suatu jabatan dengan tanggung
jawab regional atapun internasional. Hal ini terjadi karena adanya perkembangan teknologi yang telah membuat perusahaan tidak
lagi harus menempatkan secara fisik seseorang atau beberapa eksekutifnya, entah di kantor regional atau kantor pusat, untuk
menduduki jabatan tersebut.
Di sisi lain, krisis ekonomi yang melanda
Asia, yang dimulai pada pertengahan tahun 1997, juga mulai membuka peluang besar bagi eksekutif lokal untuk berkiprah pada
level regional dan internasional. Hal ini sejalan dengan makin berkurangnya ekspatriasi eksekutif-eksekutif dari negara-negara
Barat. Tren ini sejalan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Mercer Human Resource Consulting tentang International Employee
Mobility in Asia pada tahun 2002.
Alhasil, peluang eksekutif Indonesia
untuk mendapatkan tanggung jawab yang bersifat regional atau internasional menjadi makin besar. Itu asalkan mereka dapat menunjukkan
kinerja yang sejajar dengan standar internasional. Tentu saja, dalam pelaksanaannya, hal tersebut bukan tanpa hambatan sama
sekali. Sebab, apabila dibandingkan dengan eksekutif asal India, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Hong Kong, misalnya, maka
kemampuan berbahasa Inggris eksekutif asal Indonesia masih sedikit di bawah mereka. Ini menjadi salah satu kendala bagi eksekutif
Indonesia untuk bisa bersaing meraih posisi pada level regional maupun internasional.
Persoalannya belum selesai sampai di
situ. Sebab, pada kenyataannya, untuk dapat menemukan talenta eksekutif asal Indonesia yang benar-benar memiliki kualitas
sejajar dengan eksekutif dari negara-negara lainnya, pada tingkat Asia saja, juga masih merupakan pekerjaan yang sulit. Bahkan
tak cuma pada tingkat regional dan internasional, di tingkat lokal pun proses suksesi menjadi terhambat karena kelangkaan
talenta tadi. Alhasil, pada akhirnya banyak perusahaan yang mengurungkan niatnya untuk mempromosikan seorang eksekutif ke
level regional atau internasional. Alasannya, tidak ada eksekutif pengganti yang memiliki kompetensi yang sama, bahkan untuk
tanggung jawab pada tingkat lokal sekalipun.
Kompensasi Pertanyaan
yang sering muncul kemudian adalah: bagaimana sebenarnya eksekutif asal Indonesia yang memiliki tanggung jawab pada tingkat
regional atau internasional dibayar? Dalam prakteknya, di lapangan banyak perusahaan di Indonesia (baik perusahaan lokal maupun
multinasional) yang menerapkan kebijakan penggajian dengan menggunakan standar penggajian yang sama untuk karyawannya sesuai
lokasi operasionalnya. Artinya, apabila karyawan ditempatkan di Indonesia, maka otomatis ia akan mengikuti standar gaji
yang berlaku di Indonesia.
Hanya, meski perusahaan tadi menerapkan
penggajian dengan standar lokal, toh mereka tetap akan memberikan perlakuan khusus bagi eksekutifnya yang memiliki tanggung
jawab pada level regional atau internasional. Caranya, dengan memberikan gaji premium, tunjangan-tunjangan khusus, hardship,
dan sebagainya. Jadi, meskipun untuk kompensasinya tidak diperlakukan dengan standar internasional, mereka akan tetap lebih
kompetitif jika dibandingkan dengan eksekutif yang hanya mempunyai tanggung jawab lokal. Akan tetapi, tidak dapat dimungkiri
bahwa kasusnya memang menjadi sangat berbeda jika dibandingkan dengan eksekutif yang berdomisili di luar negeri.
Sebagai contoh, perusahaan X memiliki
15 kantor di seluruh Asia dan terbagi menjadi tiga subregion: ASEAN, Asia Selatan, dan Asia Timur. Jika untuk subregion
ASEAN dipimpin oleh eksekutif Indonesia dan yang juga kebetulan berdomisili di Indonesia, sedangkan untuk kawasan lainnya
dipimpin oleh eksekutif lokal juga, maka jika dibandingkan gajinya akan terlihat adanya ketimpangan. Ini karena masing-masing
eksekutif dibayar sesuai dengan standar lokal.
Jadi, bukan tidak mungkin bahwa eksekutif
yang berdomisili di Indonesia akan menerima gaji terendah jika diukur dalam mata uang dolar AS. Hal ini bisa terjadi karena
tingkat penggajian di suatu negara juga sangat dipengaruhi oleh kurs mata uangnya, tingkat kemakmuran negara yang bersangkutan,
biaya hidup di negara tersebut, persaingan bisnis, tren penggajian, dan sebagainya. Oleh karena itu, perbandingan seperti
ini sebetulnya tidaklah begitu relevan.
Mengapa demikian? Sebab, para eksekutif
di negara-negara Uni Eropa bisa jadi akan mendapatkan gaji yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan gaji eksekutif yang
sama di Indonesia. Namun, mereka harus juga membayar pajak dan biaya sosial lainnya yang cukup tinggi jika dibandingkan
dengan pengeluaran eksekutif yang berdomisili di negara-negara berkembang.
Studi yang dilakukan oleh Mercer tentang
Salary Purchasing Power pada Juli 2003 menunjukkan bahwa para manajer di negara Amerika Selatan-lah yang memperoleh gaji relatif
lebih rendah jika dibandingkan dengan para manajer di Eropa. Akan tetapi, yang menarik, ternyata para manajer yang berdomisili
di negara berkembang tadi memiliki daya beli yang lebih besar dibandingkan dengan kolega-koleganya yang ada di Eropa. Itulah
salah satu sebab mengapa tidak banyak perusahaan yang menggunakan suatu standar gaji yang sama untuk para eksekutifnya yang
memiliki tanggung jawab tingkat regional atau internasional. Mengapa? Sebab, tingkat competitiveness gaji mereka ternyata
tidak semata-mata ditentukan oleh nilai nominalnya, tetapi juga oleh purchasing power-nya.
Penulis adalah practice leader
Mercer Human Resource Consulting-Indonesia.
SWA 20/XIX/ 2 - 15 OKTOBER 2003 Cara "Pembesar"
Mengatur Gaji
Sejumlah perusahaan besar memberlakukan sistem penggajian yang berbeda-beda. Bagaimana
bentuk dan mekanismenya?
Yuyun Manopol
Bicara gaji, tak ubahnya seorang pria yang sedang jatuh cinta. Ada yang malu mengatakannya,
kendati sebenarnya senang. Ada juga yang berani mengungkap apa adanya. Gaji memang perkara sensitif. Begitu juga dalam konteks
perusahaan, terutama yang berskala bisnis besar. Ada yang blakblakan dan begitu bangga menggaji tinggi karyawannya. Namun,
ada juga yang amat hati-hati mengungkap sistem penggajian di lingkungannya.
Sebutlah PT Medco Energy Internasional Tbk. Perusahaaan ini mengaku memberi kompensasi
yang besar bagi karyawannya. Menurut Sugiharto, Direktur Pengelola Chief Financial Officer Medco, kompensasi besar merupakan
penghargaan bagi karyawan. Sebaliknya, manajemen pun pasang harga. Perusahaan milik Arifin Panigoro ini hanya mau merekrut
orang-orang terbaik.
Sugiharto menjelaskan, tingginya gaji di perusahaannya dipengaruhi kondisi di
industri ini. Seperti diketahui, industri perminyakan -- migas, upstream, downstream ataupun pengeboran -- didominasi perusahaan
asing sehingga otomatis pasaran gaji di sektor ini mengacu pada perusahaan-perusahaan asing yang berstandar tinggi, bahkan
dalam kurs US$. "Kami terpaksa menyesuaikan," ujarnya.
Berkaitan dengan penyesuaian gaji di pasaran itulah, Medco punya dua kebijakan:
pertama, 6 bulan sekali mengadakan survei gaji di pasar dengan menunjuk konsultan independen yang terbaik, seperti Watson
Wyatt dan Hay Management. Kedua, gaji karyawan tidak boleh berada di bawah need point. Artinya, jika ada rentang 0-100, gaji
karyawan tidak boleh di bawah kisaran level 50. "Kami ingin gaji orang Medco berada di kuadran 51-75," kata Sugiharto.
Perusahaan yang sedang naik daun ini memiliki beberapa faktor sebagai tolok ukur
besarnya gaji. Yaitu, kondisi pasar, kemampuan perusahaan, inflasi dan kompetensi. Adapun bentuknya merupakan kombinasi based
salary dan allowance dengan porsi gaji pokok lebih besar ketimbang tunjangan. "Yang penting adalah faktor pasar, karenanya
gaji kami tetap kompetitif," tuturnya.
Sugiharto mengaku tak hafal komposisi gaji Medco: apakah based salary yang dibesarkan
atau allowance yang lebih besar? "Yang jelas, gaji pokok (base salary) baik top management maupun karyawan rata-rata di atas
50%," ujarnya singkat. Lalu, allowance yang ditawarkan kepada karyawan atau manajemen puncak berbeda-beda. Yang jelas pula,
ada yang berhak mendapat tunjangan car ownership program, loan untuk yang punya masalah finansial, tunjangan makan, transpor,
kesehatan, asuransi, dana pensiun, dan sebagainya. "Bahkan, Medco punya rumah sakit sendiri untuk semua level karyawan," ujarnya
bangga.
Di Medco ada 21 jenjang kepangkatan. Tentu saja, ukuran atau persentase variabel
gaji dan tunjangan tiap level berlainan. "Dalam tiap golongan ada gaji minimal dan maksimalnya, tergantung kompetensi masing-masing
staf," katanya. Waktu yang dibutuhkan untuk menuju level di atasnya juga tergantung kemampuan masing-masing staf. Jika prestasi
hebat, hanya perlu waktu 6 bulan untuk naik pangkat; jika biasa-biasa saja, maksimal lima tahun.
Berapa batas gaji terendah dan tertinggi di Medco? "Kebijakan kami untuk golongan
terendah, seperti office boy atau messenger, pendapatannya tidak boleh kurang dari Rp 1 juta, sebab itu tidak manusiawi,"
jelas Sugiharto. Adapun gaji tertinggi, "Hitung saja sendiri, sebagai gambaran, pajak penghasilan seorang direksi sekitar
Rp 2 miliar/tahun," ujarnya enteng. Kompensasi yang diterima direksi Medco terdiri dari gaji, bonus, tunjangan kendaraan,
liburan ke Puncak dan Carita bersama keluarga setahun dua kali, hak cuti yang dibayar, fasilitas satpam di rumah, dan uang
pesangon bagi yang berniat berhenti.
Setelah krismon, tiap tahun Medco menaikkan gaji karyawan. "Sebelumnya, saya tidak
ingat," ujarnya. Persentase kenaikannya bervariasi, 0%-35%. Adapun besar-kecilnya, lagi-lagi tergantung prestasi tiap individu.
Kenaikan gaji biasanya dilakukan di awal tahun, mengikuti tren tahun fiskal, dan
pascalaporan keuangan perusahaan sah diaudit pemegang saham. Di sini, ada dua macam kenaikan. Pertama, dari performa bonus
yang dikaitkan dengan kinerja perusahaan. Kedua, kenaikan berkala yang dilakukan pada kuartal I tiap tahun. "Bahkan, bisa
jadi karena ada penyesuaian pasar," ujar Sugiharto.
Menurutnya, sistem penggajian yang diaplikasikan Medco cukup fair. Ada beberapa
kelebihan sebagai efek dari sistem ini. Pertama, tingkat turnover manajemen puncak atau karyawan, terbilang rendah. Kedua,
kinerja SDM menjadi lebih baik. Pasalnya, mereka merasa dihargai perusahaan. Bahkan, Medco juga memiliki colaborative agreement
atau perjanjian dengan serikat buruh, sehingga tak pernah mengalami deadlock akibat ketidaksepahaman antara manajemen dan
karyawan.
Lantas, bagaimana jika gaji karyawan senior telanjur tinggi, sementara kinerjanya
merosot dibanding karyawan baru yang bergaji lebih rendah?
Dijelaskan Sugiharto, Medco tidak akan ekstrem memecat karyawan tersebut. "Asalkan
karyawan tidak membuat kesalahan fatal," ungkapnya. Untuk menghadapi karyawan bermasalah, manajemen punya strategi, yang disebut
human development program. Program ini didesain untuk menganalisis strong and weakness karyawan disertai analisis potensi
dan kompetensinya. Berikutnya, perusahaan akan memberi pelatihan yang dibutuhkan si karyawan.
Konsekuensinya, jika prestasinya bagus, dijanjikan bonus yang sesuai. Contohnya,
yang berhasil meraih top perfomance berhak mendapat satu kali gaji, medium performance tiga kali gaji, sementara yang excellence
lima kali gaji. "Ini bagus agar terjadi kompetisi yang sehat dan orang berusaha memacu karier," kata Sugiharto.
Itu di Medco, bagaimana dengan perusahaan besar lain macam PT Astra International
Tbk. (AI)? "Kami sudah mempunyai komitmen mengenai gaji, yakni harus X% di atas median market. Karenanya, dibanding industri
sejenis, gaji kami di atas mereka," ujar Kepala Pengembangan SDM Korporat AI, Julius Aslan, bangga tanpa berkenan menyebutkan
berapa persisnya X% itu.
Untuk mendukung komitmen tersebut, AI menggelar survei gaji dua tahun sekali (sebelum
krisis, dilakukan setiap tahun). Untuk golongan I-III, kompetisinya by industry (per industri) seperti manufaktur, agro dan
elektronik. Semua dilakukan terpisah.
Kondisi sedikit berbeda untuk golongan IV dan V. Di sini tak lagi melihat per
industri, tetapi cross industry. Jadi, berbagai industri yang dianggap kompetitor AI, digabung jadi satu. "Survei itu kami
lakukan sendiri. Terkadang kami ikut juga survei yang dilakukan konsultan. Sedangkan untuk level eksekutif, minta jasa konsultan
yang melakukannya," papar Julius.
Kendati ada by industry dan cross industry, Julius mengungkapkan, sistem penggajian
di perusahaannya menganut konsep externally competitive dan internally fair. Externally competitive artinya jumlah gaji tak
boleh kalah dari kompetitor. Adapun internally fair adalah sistem penggolongan yang menggambarkan nilai (value) pekerjaan.
Prinsip ini diterapkan karena jika memberi gaji terlalu rendah, bisa kehilangan karyawan. Sebaliknya, kalau membayar gaji
terlalu tinggi, perusahaan bisa terancam eksistensinya.
Praktik dari survei dan prinsip ini berbentuk sistem kompensasi. Semua karyawan,
mulai golongan I-IV (sub A-F sampai golongan V-VII (golongan V=Manajer, VI=GM, dan VII= VP atau direksi), mendapat gaji pokok
plus variabel. Dalam hal gaji, model perhitungan kenaikannya di tiap golongan agak berbeda. Untuk golongan I-V, digunakan
sistem perkalian: 13 kali gaji ditambah bonus yang didasarkan performa perusahaan. Adapun untuk golongan VI-VII, perhitungannya
berdasarkan annual based. "Maaf, kami tidak bisa menyebutkan besaran gaji terendah dan tertinggi. Pembedaan besaran gaji ini
hanya ditentukan oleh performa," ujar Julius. Untuk bonus, jika kinerja karyawan bagus, gaji yang diterima mencapai 14 kali.
Jika performa perusahaan bagus, gaji yang diterima bisa 16 kali.
Dalam hal fasilitas, secara umum manajemen memberi berbagai tunjangan (seperti
transpor, Car Ownership Program untuk golongan IV-E ke atas), sumbangan (rumah sakit, pernikahan, medical check-up), dan bonus.
Program kepemilikan mobil hanya diberikan kepada Golongan IV-E ke atas dengan ketentuan: lama waktu cicilan lima tahun, tanpa
bunga. Di sini, ada subsidi cicilan sebesar 70%. Juga, ada OPEX untuk bensin, asuransi mobil dan perawatan.
Untuk urusan pemberian gaji yang layak, Bogasari Flour Mills, menurut M. Arief
Indrawan, Vice President Manajemen SDM dan Administrasi PT Indofood Sukses Makmur Tbk., juga tak mau kalah. Survei pasar digelar
dua tahun sekali. Tak berbeda dari Medco, konsultan terbaik di bidang ini seperti Hay Management dan Watson Wyatt juga disewa.
Dari hasil survei ini, ujar Arief, manajemen menjadi tahu standar gaji di pasar.
Selanjutnya, manajemen mengelompokkan gaji karyawan menjadi tiga kategori: under range (di bawah standar), within range (sesuai
standar), dan over range (di atas standar). Yang under range jelas akan disesuaikan. Within range, tak masalah. Adapun over
range akan dievaluasi. Termasuk soal kinerjanya, ujar Arief.
Dalam pemberian gaji, Bogasari menerapkan dua sistem: clean wages dan competency
base. Dalam sistem clean wages, perusahaan memberi gaji semuanya, kecuali untuk transportasi dan makan. Transportasi dibagi
dua: diberi uang atau memakai jemputan bis, karena Bogasari mempunyai kantong-kantong wilayah tempat tinggal karyawan. Adapun
makan, semua dilakukan di kantin atau uangnya tak dibagikan.
Dalam sistem competency base, gaji lebih didasarkan pada position value. Seperti,
operator yang memiliki kompetensi khusus. Saat masuk tak lagi di level karyawan yang paling rendah (6D/selevel office boy),
tapi langsung ke 6C -- level jabatan diurut dari 6 (terbawah) ke-1 (paling tinggi).
Menilik besaran gaji, tampaknya gaji di Bogasari tak sefantatis Medco. Arief,
pria kelahiran Bandung 27 Februari 1968, menjelaskan, untuk golongan gaji terendah, Bogasari mengikuti standar Upah Minimum
Provinsi (UMP). Sementara untuk yang tertinggi, nilainya di bawah Rp 100 juta. Yang jelas, kenaikan gaji dilakukan setahun
sekali pada awal tahun. Ini sengaja dilakukan, karena angka inflasi diumumkan pemerintah pada awal tahun. "Yang dinaikkan
biasanya annual base salary (gaji pokok). Besarnya rata-rata 15% per tahun," ungkapnya seraya menyebutkan, total karyawan
Bogasari di Jakarta ada 2.500 orang, sedangkan 1.000 orang lagi ada di Surabaya.
Di luar gaji, insentif dan bonus juga diperhatikan. Paket insentif di Bogasari
didasarkan empat dimensi. Pertama, perusahaan menyiapkan remunerasi package system, seperti jenjang kepangkatan yang disimbolkan
dengan lambang rupiah. Kedua, dimensi jenjang karier atau pengembangan kemampuan karyawan. Bentuknya, pemberian pelatihan,
penugasan atau jabatan tertentu (lambang tangga). Ketiga, perusahaan menyiapkan environment. Artinya, pengondisian perusahaan
supaya dijaga oleh semua pihak (lambang payung). Keempat, job security. Artinya, mengupayakan supaya perusahaan bisa tetap
langgeng atau sustainable (lambang panah).
Demikian juga pemberian bonus. Ada fixed bonus, yang diberikan tiap tahun seperti
pada akhir tahun; ada pula variable bonus yang sifatnya situasional (biasanya terkait dengan performance). Kenaikan insentif
ini umumnya dilakukan bertahap terutama bagi yang kenaikannya 100%. Contohnya, seorang karyawan yang mengalami penyesuaian
gaji dari Rp 1 juta menjadi 2 juta (100%), kenaikannya dilakukan dua tahap.
Karena selalu serius memperhatikan sistem kompensasi, tak mengherankan, Bogasari
yang selalu menyesuaikan gaji terhadap standar pasar pada 2001 menyabet penghargaan Best Employer 2001 dari Hewitt Associates
yang bekerja sama dengan Asian Wall Street Journal dan Far Eastern Economic Review.
Sementara itu, Procter & Gamble Indonesia (PGI) memang belum mendapat penghargaan
seperti Bogasari. Namun, dalam urusan gaji, PGI juga sangat serius. Bahkan, dalam mengelola gaji berikut benefit, perusahaan
ini tak melepaskan diri dari pengelolaan SDM pada satu konsep yang disebut total employment experience. Konsep ini, menurut
Bambang Sumaryanto, Direktur Hubungan Eksternal, memiliki empat pilar utama: kompensasi, career progression, training &
development, serta lingkungan kerja.
Filosofi sistem kompensasi adalah, bersaing dengan tingkat pasar. Artinya, PGI
sangat memperhatikan pergerakan berikut dinamika pasar untuk memastikan bahwa tingkat kompensasi yang diberikan tetap bersaing.
Kendati begitu, penentuan tingkat gaji tetap didasarkan pada prestasi kerja (pay for performance) dan strategi bisnis perusahaan.
Hal yang sama juga terjadi pada career progression. Perkembangan karier di PGI
juga berdasarkan prestasi kerja. Seseorang yang berprestasi cemerlang berpeluang mengembangkan karier lebih cepat. Dengan
sistem ini, karyawan Indonesia tak hanya mengisi posisi kunci di PGI tapi juga di P & G luar negeri. Sampai saat ini P
& G telah menempatkan lebih dari 30 karyawan PGI di luar Indonesia dengan beragam jabatan/fungsi, dari manajer junior
manajer senior.
Sementara itu, di pilar training & development, programnya mencakup corporate
training dan functional training program. Program pelatihan ini dilakukan baik secara lokal maupun regional. Sebagai catatan,
tahun ini P & G telah melaksanakan pelatihan baik lokal maupun regional kepada 112 karyawan.
Adapun dalam working environment, P & G berusaha menciptakan lingkungan kerja
yang memungkinkan setiap orang berkontribusi maksimal. Untuk itu, diterapkan konsep kantor terbuka dan bergerak (open &
mobile office concept). Melalui konsep ini, karyawan dapat bekerja tanpa dihambat keterbatasan ruang dan area. Caranya, desain
ruang kantor dikembangkan dengan konsep terbuka, sehingga tak seorang pun memiliki ruangan khusus. Lalu, perusahaan menerapkan
flexi-hours yang memberi pilihan jam masuk kantor kepada karyawan. Bahkan, saat ini P & G memberikan pilihan kerja dari
rumah (work from home) untuk karyawan tertentu. Di sini, karyawan bisa memilih kapan bekerja dari rumah dan kapan di kantor
sehingga efektif.
Lalu, bagaimana dengan perusahaan besar lainnya, Bank Mandiri? Sempat tersiar
kabar, di bank ini, sistem penggajiannya tidak jelas. Menimbang perlunya orang-orang terbaik untuk memuluskan merger, maka
rekrutmen dilakukan dengan imbalan setinggi-tingginya. Selain itu, karena ada klik karyawan berdasarkan asal bank sebelum
merger, berita tak sedap juga beredar: gaji karyawan berbeda sesuai asal bank.
Itu rumornya. Nyatanya, menurut Agam Napitupulu, Kepala Divisi Pengembangan SDM
Bank Mandiri, sistem berdasarkan performa juga berupaya diterapkan. Secara sistem, ungkapnya, Mandiri menerapkan single salary
system. Maksudnya, gaji yang diberikan kepada pegawai merupakan gaji bersih. Di dalamnya sudah mencakup komponen tunjangan-tunjangan
pegawai yang umumnya terdapat di pasar penggajian perbankan nasional.
Adapun besaran gaji tiap pegawai ditetapkan berdasarkan peringkat jabatan (job
grade) masing-masing. Kenaikan gaji terjadi karena beberapa hal. Antara lain, pegawai memperoleh promosi, atau karena hasil
penilaian pada periode tertentu (setahun) menyatakan kinerja yang bersangkutan terhitung bagus. Kenaikan gaji bisa terjadi
setiap tahun.
Meski tak mau berterus terang, Agam mengungkapkan, skala gaji di perusahaannya
terbagi dalam 18 kelompok/golongan penggajian. Untuk gaji terendah dipastikan di atas UMP DKI Jakarta. Adapun gaji tertinggi
di atas besaran hasil market salary survey perbankan nasional. Seperti perusahaan besar lain, Mandiri memang ikut survei-survei
gaji. Namun, katanya, market salary survey hanya diikuti jika terjadi kenaikan gaji di sektor perbankan. Kalaupun melakukan
penyesuaian, jelas Agam, hal itu akan dikembalikan pada strategi dan kemampuan perusahaan.
Strategi dan kemampuan perusahaan. Ini kata kunci yang menjadi benang merah dari
semua perusahaan besar di atas dalam membuat kebijakan gaji. Perusahaan yang lebih kecil? Kata kunci itu pun tampaknya juga
berlaku.
Reportase: Abraham Susanto, A. Mohammad B.S., Dede Suryadi, Dedi Humaedi, dan
Eva Martha Rahayu.
Lalu bagaimana yang berkarir di
wirausaha?
Terjun wirausaha itu sangat sulit sekali
untuk membuka pertama kalinya, karena ibarat berenang di laut banyak ombaknya dan ada binatang yang bisa mematikan dll.
Tapi di dunia nyata sudah terbukti bahwa perekonomian suatu bangsa ditentukan oleh para wirausahawan sukses, bahkan di negara
maju rata-rata pemimpin negara kebanyakan berlatar belakang wirausaha. Itu fakta nyata, mungkin karena tantangannya dan ujian
terlalu berat. Suksesnya wirausaha adalah benar-benar bos, sedangkan suksesnya seorang yang berkarir di dunia kerja
tentu masih dibatasi oleh aturan-aturan pemilik modal walupun posisi paling tinggi sekalipun. Itulah makanya dikatakan
bahwa terjun wirausaha ibarat berenang di lautan. Siapa yang mampu maka bisa menyeberangi samudra dan tidak ada batas. kalaupun
lebih mampu lagi maka bisa jadi konglomerat.
Memulai bisnis pribadi merupakan hal yang menakutkan sekaligus menarik. Mengapa? Di satu sisi, ini
dapat menimbulkan risiko besar. Di sisi lain, kesempatan besar dalam kehidupan juga menanti. Alhasil, masuk akal bila orang
-- katakanlah Anda - menjadi ingin tahu, apa saja sih yang melibatkan diri kita ketika memulai bisnis, dan apa saja yang bisa
membuat langkah ini sukses.
Saya punya jawaban untuk hal tersebut: carilah jalan dari beberapa cara konvensional, tidak perlu langsung
melakukan cara yang benar. Jadilah orang yang kreatif, fleksibel dan cepat tanggap terhadap perubahan yang terjadi dengan
mendapatkan informasi tentang pangsa pasar dan peristiwa-peristiwa yang baru saja terjadi.
Bila diamati, orang-orang
yang menjalankan bisnis pribadi kerap membicarakan beberapa hal penting. Yang paling sering: Apa tujuan pribadi mereka? Ya,
apa sebenarnya tujuan pribadi melakukan hal ini? Mereka juga bertanya, apakah yang saya kehendaki dalam hidup? Di manakah
saya berada 10 tahun mendatang? Jenis penghasilan seperti apa yang saya ingini?
Di sini, hasur saya nyatakan, tujuan
pribadi bukanlah hal sepele. Anda harus memiliki atau mengetahui tujuan pribadi yang benar-benar penting bagi Anda. Ini penting,
karena bukankah bisnis itu sesuatu yang menuntut?
Jadi, tanyakan pada diri sendiri, apakah sedang melakukan sesuatu
yang ingin dilakukan. Tanya juga, apakah Anda bekerja dengan orang-orang yang Anda ingin bekerja sama untuk melakukannya?
Apakah pengembalian investasi sudah seperti yang diharapkan? Bila muncul perasaan tidak senang, Anda tidak akan menjadi pengusaha
yang baik.
Setelah tujuan pribadi, ide bisnis Anda haruslah disertai hasrat pribadi untuk memulai dan mengoperasikannya.
Hasrat pribadi mesti menjadi bagian dari apa yang Anda kehendaki dalam hidup. Bila tidak, percayalah, semua ide yang Anda
keluarkan tidak berarti sama sekali, dan jangan berharap bisa mengubah bisnis yang ada menjadi bisnis yang sukses.
Sekarang,
katakanlah Anda tahu tujuan pribadi dan sangat berhasrat. Lantas, dari mana harus memulainya?
Jangan pusing. Pengalaman
kerja adalah bagian dari ide bisnis. Sebagai contoh, bila Anda ingin membuka restoran dan belum pernah berkecimpung di dunia
ini sebelumnya, masuk akal bila Anda bekerja terlebih dulu pada orang lain. Dengan cara ini, Anda akan terhindar dari kesalahan
dalam membuat perhitungan biaya. Atau, bahkan tak jadi membuat bisnis resto karena setelah bekerja di situ dan mengerti pengoperasiannya,
Anda jadi mengetahui resto bukan jenis usaha yang ingin Anda jalankan sebagai bisnis pribadi.
Selain pengalaman, pengetahuan
dasar juga salah satu pintu masuk untuk memulai bisnis Anda. Di sini, Anda haruslah memiliki ide atau konsep yang lebih banyak
Anda ketahui ketimbang orang lain. Insting atau perasaan bukanlah pengganti untuk pengetahuan. Anda bisa memperoleh pengetahuan
dasar ini secara natural dengan memiliki pekerjaan yang relevan atau pengalaman berbisnis. Bisa juga diperoleh dengan banyak
bertanya, mendengar, membaca, atau melakukan penelitian.
Terlepas dari apakah itu pengalaman atau pengetahuan dasar,
yang pasti, pada kebanyakan orang, melimpahnya ide untuk memulai bisnis baru kerap bersumber pada keinginan yang sama: menjadi
kaya dengan cepat. Benarkah hal ini?
Saya cenderung menyatakan bahwa memulai bisnis dengan sikap seperti itu bukan
hal yang benar. Memang uang itu penting. Dan uang akan datang kemudian seperti yang kita ingini setelah melalui usaha yang
keras. Namun, bertanyalah pada nurani kita, sebetulnya, penghargaan intrinsik seperti apakah yang akan Anda terima untuk semua
usaha Anda? Menurut saya, langkah pertama ketika memulai bisnis pribadi adalah: lakukanlah semua dengan sebaik-sebaiknya!
Berikan sesuatu yang dibutuhkan orang. Dengan cara ini, yakinlah Anda akan dihargai terus-menerus meskipun barangkali Anda
tidak menghasilkan uang banyak pada awalnya. Saya pikir hal ini merupakan inner vision. Dan, bukankah Anda sendiri tidak bisa
selalu dimotivasi untuk menghasilkan profit?
Banyak keuntungan yang bisa diperoleh dengan bersikap melakukan semua
dengan sebaik-baiknya. Sikap ini akan menjadikan Anda memiliki komitmen sukses. Sikap ini juga membuat Anda terus melangkah
dari keadaan sekarang untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari sehingga Anda pun bakal menjadi seseorang yang kaya ide,
bervisi, kreatif dan sanggup menerapkan sesuatu yang lebih baik ketimbang orang yang mungkin Anda lihat merupakan sosok terbaik
pada saat ini. Pendek kata, sikap ini menjadikan Anda orang yang tidak puas dengan pekerjaan yang average (rata-rata), melainkan
orang yang puas dengan melakukan sesuatu yang besar (superior).
Inilah sikap yang penting ketika memulai bisnis pribadi.
Dan, kalau Anda merasa memilikinya, Anda pantas memulai bisnis pribadi. Jadi, tunggu apa lagi?
Eksekutif dan Bisnis
Sampingan: Modal Menjadi Pengusaha atau Investor |
Banyak
eksekutif memiliki bisnis sampingan. Ada yang menekuni bisnis pendidikan, restoran, properti,
main saham, reksadana, dan lain-lain. Kata mereka, mempunyai penghasilan tambahan memberikan rasa aman, membuat hari tua tidak
sengsara, dan bisa menjadi modal usaha. Apakah itu tidak mengganggu pekerjaan utamanya sebagai eksekutif?
Untuk tahun
ini, Tri Djoko Santoso pantas berbangga. Bisnis sampingannya, sebagai investor dalam bidang
pendidikan, sudah bisa kembali modal. Maka, tahun-tahun selanjutnya, wakil presdir PT Panin Life Tbk.
itu hanya tinggal memetik keuntungan. Tri Djoko telah menggeluti bisnis sampingannya selama empat
tahun, yakni sejak tahun 2000.
Tri Djoko boleh
dibilang tergolong investor yang cerdik. Ia berinvestasi mendirikan institusi pendidikan
yang spesifik, termasuk baru, belum banyak pelakunya, dan bahkan belum banyak dikenal
di Indonesia. Padahal di luar negeri, bisnis pendidikan
yang ditekuninya itu sudah berkembang pesat sejak lama. Ia tidak menjadi investor waralaba, seperti pendidikan bahasa
Inggris yang sudah banyak pemainnya. Ia sengaja menjadi investor institusi pendidikan asuransi dan
jasa keuangan. Meski ia enggan menyebutkan namanya, ada empat institusi pendidikan yang ikut dimilikinya.
"Saya membawa
masuk pendidikan dari luar negeri yang saya pikir bagus buat Indonesia, dan ikut menanamkan uang
di situ," ujar Tri Djoko. Soal operasional sehari-hari, ia mengaku tidak ikut campur. Tri Djoko hanya
menjadi investor dan membantu memasarkannya. "Kami ada sharing revenue," ungkapnya. Belakangan ia sedang
berpikir mau menjual sebagian sahamnya. Mengapa? "Beberapa teman saya tertarik mau ikut," tuturnya.
Selain berinvestasi
jangka panjang di bidang pendidikan, Tri Djoko juga mempunyai investasi lain yang bersifat jangka pendek. "Saya
alokasikan dananya 70% untuk investasi jangka pendek dan 30% jangka panjang," paparnya. Ia mendiversifikasikan
dana pribadinya ke saham, reksadana, dan tabungan.
Di reksadana,
Tri Djoko lebih banyak bermain pada reksadana jenis fixed income dan dalam mata uang dolar AS.
Adapun untuk investasi saham di bursa, ia membidik saham-saham yang bisa memberikan
kepastian pendapatan jangka panjang. Ia membeli saham-saham perusahaan yang di Indonesia bidang usahanya belum tergolong blue-chip,
tetapi di luar negeri sudah menjadi blue-chip.
Manfaat Bisnis
Sampingan Tri Djoko mempunyai alasan yang jelas mengapa eksekutif puncak di perusahaan besar seperti dirinya
memiliki bisnis sampingan atau investasi pribadi. Baginya, pada masa sekarang, hampir tidak mungkin seseorang
hanya bergantung pada satu sumber penghasilan saja. Dia harus mempunyai sumber penghasilan yang lain.
Memang, pada
masa lalu ada pandangan bahwa eksekutif yang mempunyai bisnis sampingan bisa dianggap
tidak loyal kepada perusahaan dan sebagainya. Menurut Hari Sudarmaji, managing
partner Optima Consulting, pandangan semacam itu muncul karena adanya anggapan bahwa yang dimaksud
sebagai bisnis sampingan adalah jika seorang eksekutif yang telah bekerja di suatu perusahaan, dia kemudian bekerja
lagi untuk orang lain dan mendapatkan upah dari pekerjaannya tersebut. "Kalau itu yang terjadi, memang tidak boleh,"
tandas dia.
Lalu, bagaimana
halnya dengan yang dilakukan Tri Djoko tadi? "Oh, kalau itu namanya personal investment. Jadi, dia menggunakan uangnya
sendiri untuk bisnis pribadi, seperti main saham atau reksadana. Kalau begitu sih bisa-bisa saja,"
cetus Hari. Cuma, Hari menambahkan dengan catatan, jangan sampai investasi pribadinya itu ada unsur
konflik kepentingan dengan perusahaan atau memanfaatkan informasi dari orang dalam. "Istilahnya,
insider trading," ucap Hari. Jadi, sejauh tidak ada konflik kepentingan atau unsur insider trading, lanjut dia,
boleh saja.
Warta Ekonomi sendiri
memilih definisi bisnis sampingan sebagai "suatu kegiatan yang dilakukan sang eksekutif, yang
pada akhirnya menghasilkan uang bagi dirinya pribadi". Dalam konteks semacam itu, tampaknya eksekutif mempunyai
bisnis sampingan sudah menjadi sesuatu yang wajar. Apalagi belakangan banyak perusahaan memang tidak
bisa lagi memberikan kepastian pekerjaan seumur hidup bagi sang eksekutif tadi.
"Pandangan eksekutif
terhadap job security mereka sekarang sudah berubah," tutur Tri Djoko. Selama seorang eksekutif masih
bisa memberikan hasil yang bagus kepada perusahaan, maka perusahaan akan tetap mempekerjakan eksekutif
itu. Namun, apabila perusahaan sudah tidak mau memakai eksekutif itu lagi, tentu dia harus mempunyai cadangan
dana karena sudah tidak memiliki pekerjaan. Lebih-lebih buat eksekutif pada level direksi, yang bekerja berdasarkan
sistem kontrak. Bisa saja suatu saat kontraknya diputus. Dalam kondisi demikian,
kalau dia tidak siap dengan sumber pendapatan yang lain atau pekerjaan yang baru, maka sengsaralah
nasibnya. Lain halnya dengan karyawan yang bekerja berdasarkan peraturan perusahaan dan dilindungi oleh UU Ketenagakerjaan.
Artinya, kalau terjadi PHK, masih ada aturan mainnya.
Jika mengadopsi pemikiran
Robert T. Kiyosaki, memiliki bisnis sampingan atau investasi pribadi ini agaknya merupakan
modal yang cukup apabila seorang eksekutif menginginkan nantinya ia tak lagi sebagai eksekutif atau orang
"gajian", tetapi kemudian beralih menjadi pengusaha atau investor. "Sebab, berat juga kalau saya langsung menjadi
entrepreneur," ujar Tri Djoko.
Dalam bukunya,
The Cashflow Quadrant, Kiyosaki menegaskan bahwa sumber penghasilan seseorang bisa dibagi dalam empat
kuadran, yaitu sebagai Employee (karyawan atau eksekutif), Self-Employed (orang
profesional seperti dokter atau pengacara), Business Owner (pemilik usaha), dan sebagai
Investor (penanam modal). Kiyosaki menyebut bahwa pengusaha atau investor lebih memiliki kebebasan
finansial dibandingkan eksekutif atau kalangan profesional. Artinya, penghasilannya lebih dari
cukup bukan karena dia bekerja keras, tetapi karena bekerja dengan cerdik.
Ferdinand B.
Poerwoko menceritakan pengalaman hidupnya saat memutuskan berhenti menjadi presdir PT Lippo
Land Development Tbk., sepuluh tahun lalu, dan kemudian memilih menjadi pengusaha. Menurut penuturan Ferdinand,
hal itu tidak dilakukannya sekonyong-konyong. Sewaktu menjadi eksekutif, ia sudah bersiap jauh sebelumnya
dengan menggarap bisnis sampingan di bidang makanan kesehatan. "Sebaiknya memang ada income
tambahan sebelumnya. Supaya dapur tetap ngebul," cetus Ferdinand. Waktu itu bisnisnya masih dikelola oleh istri
dan adiknya.
Dalam perjalanan,
ternyata bisnis makanan kesehatan yang dikelola sang istri dan adiknya malah berkembang
pesat. Maka, akhirnya Ferdinand pun meninggalkan jabatannya sebagai presdir dan memilih
menekuni bisnis sampingannya. Hasilnya? Setelah Ferdinand berkonsentrasi penuh mengurusi bisnisnya,
usaha yang dikelolanya ternyata kian berkembang dan malah melebar ke mana-mana. Alhasil, kini ia telah
mengibarkan kelompok usahanya sendiri. Namanya, Libera Group, yang bergerak di bisnis marmer, food supplement, kontraktor,
dan pelayaran.
Memiliki bisnis sampingan
atau investasi pribadi juga bermanfaat untuk persiapan menghadapi masa tua. Diperkirakan, dengan meningkatnya
biaya dan gaya hidup saat ini, seorang eksekutif
akan sulit untuk bisa menikmati masa tuanya dengan tenang. Apabila seorang eksekutif harus pensiun pada usia 55 tahun,
ia masih harus menjalani sisa hidupnya hingga rata-rata umur 65-70 tahun. Jadi, masih ada sisa waktu 15-20 tahun
lagi yang harus ia jalani. Jika dia menjalaninya tanpa memiliki persiapan dana yang cukup, jelas menyengsarakan.
Maka, dalam konteks itu, bisnis sampingan menjadi penting artinya. "Persoalannya kemudian adalah bagaimana melakukan
bisnis sampingan itu," ungkap Ferdinand.
Persoalan
Bisnis Sampingan Untuk mempunyai bisnis sampingan, menurut Tri Djoko, kebanyakan eksekutif memandang bahwa
hal tersebut mestinya dilakukan secara beretika, atau bersikap profesional. Artinya, eksekutif
itu tidak boleh melakukan sesuatu yang tidak disetujui, diizinkan, atau diketahui oleh perusahaan tempat sang
eksekutif tersebut bekerja. Memiliki bisnis sampingan memang bisa menimbulkan persoalan terhadap pekerjaan
utama mereka di perusahaan. Pertama, soal perizinan. Belum ada formula yang jelas, apakah seorang
eksekutif yang ingin mempunyai bisnis sampingan memerlukan izin yang mesti tertuang hitam di atas putih, atau
cukup pemberitahuan lisan saja kepada atasannya (atau pemilik perusahaan). "Kalau pada level
karyawan biasanya mesti ada semacam izin tertulis. Akan tetapi kalau pada level direksi, bisa diberitahukan
secara lisan," kata Tri Djoko, berbagi pengalaman.
Soal izin
ini, menurut Hari, sebaiknya dituangkan secara tertulis dan bahkan kalau perlu diatur dalam
peraturan perusahaan. Ini agar setiap karyawan mempunyai kesempatan yang sama, bukan cuma bos-bos
saja yang menikmati.
Etika lain
yang harus dipatuhi, lanjut Hari, jangan sampai jenis bisnisnya sama dengan bisnis yang
ditekuni perusahaan. "Kalau menunjang bisnis perusahaan, malah tidak apa-apa," katanya. Ia mencontohkan
Tri Djoko, yang bisnisnya adalah bidang pendidikan untuk asuransi. "Ini menunjang bisnis asuransi perusahaannya,"
ujar Hari.
Namun, memang
tidak semua perusahaan mengatur secara ketat pilihan bisnis sampingan yang boleh dilakukan oleh eksekutifnya.
Misalnya, yang dialami oleh Andri Irwanto. Menurut agency manager PT Prudential Life Assurance itu, perusahaannya mengetahui
kalau ia mempunyai bisnis sampingan sebagai konsultan teknik dan perencana keuangan. "Namun, untuk menekuni bisnis
itu, saya tidak perlu meminta izin secara tertulis yang menyatakan bahwa pihak atasan
menyetujuinya," ujarnya. Pihak perusahaan hanya menekankan, sepanjang pekerjaan utama Andri sebagai agency manager dapat
dilakukannya dengan baik dan benar, bisnis sampingannya tidak ada masalah. Apalagi jika ia dinilai berprestasi, maka hal itu
lebih tidak menjadi masalah lagi.
Kedua, bagaimana
hubungan bisnis sampingan atau investasi pribadi sang eksekutif dengan bisnis perusahaan tempat dia bekerja.
Bisnis sampingan atau investasi personal itu selayaknya tidak merugikan perusahaan. Misalnya, tidak berinvestasi langsung
atau tidak langsung di perusahaan pesaing, atau yang bidang usahanya sejenis dengan tempat dia bekerja. Contohnya,
seperti ditegaskan Hari, kalau mau main saham, ya jangan saham perusahaannya--juga saham perusahaan-perusahaan
lain yang terkait dengan perusahaannya--yang dimainkan.
Ketiga, soal
pembagian waktu kerja. Selama bisnis sampingan atau investasi pribadi itu tidak mengganggu performa
pekerjaan utama, maka bisnis sampingan itu tidak akan menjadi masalah. Jika bisnis sampingannya lebih berupa investasi
personal atau menjadi investor, hal itu memang tidak akan banyak memakan waktu sang eksekutif.
Sebab, bisa saja dia mempercayakan urusan bisnis sampingannya itu untuk dijalankan oleh orang
lain atau manajer investasi. Namun, apabila bisnis sampingannya merupakan investasi riil, seperti membuka
toko atau menjalankan profesi yang lain, yang jelas memerlukan waktu tersendiri, maka sang eksekutif harus pandai-pandai
membagi waktu.
Untuk soal waktu,
Hari memberikan catatan yang tegas: "Jangan sampai menggunakan waktu selama dia bekerja untuk perusahaan,"
tandasnya. Hari menyarankan agar sang eksekutif menggunakan Sabtu dan Minggu untuk urusan bisnis pribadinya.
Keempat, bagi
seorang eksekutif, memiliki bisnis sampingan atau investasi pribadi tergolong sensitif. Tak sedikit di antara
mereka yang enggan membeberkannya walau mereka umumnya memiliki bisnis sampingan. "Kami semua mempunyai bisnis
sampingan, tetapi jarang mau diekspos. Sebab, antara lain, kami takut dikejar-kejar oleh petugas pajak,"
ujar seorang direktur sebuah bank papan atas.
Potensi dituding
melakukan KKN atau terjadinya conflict of interest juga tinggi. Jika tidak hati-hati, mereka justru
bisa tergelincir dalam meniti karier di pekerjaan utamanya sebagai seorang eksekutif.
Model Bisnis
Sampingan Jika dicermati, bisnis sampingan eksekutif umumnya berbentuk tiga macam. Pertama, investasi portofolio
pribadi, seperti lewat pembelian saham, reksadana, dan properti, baik berupa rumah
ataupun tanah. Kedua, investasi dengan membuka restoran, institusi pendidikan, dan usaha lainnya, entah
yang berupa waralaba atau bukan. Ketiga, menjalankan kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan
pekerjaan utamanya sebagai seorang eksekutif, seperti menjadi konsultan, event organizer, dosen,
atau bahkan distributor produk multilevel marketing (MLM) dan sejenisnya.
Tri Djoko mengungkapkan,
dalam investasi portofolio, eksekutif harus pintar-pintar membuat alokasi asetnya supaya keuntungan
bisa maksimal dan dalam jangka menengah-panjang terus menjanjikan. "Merepotkan dan terlalu berspekulasi kalau
investasinya main jangka pendek semua," ujarnya. Ia sendiri, dalam investasi portofolio, bisa memperoleh margin bersih 5%-6%
dan maksimal bisa 10%-12%. "Dalam ilmu perencanaan keuangan, selama hasilnya masih 3% di atas tingkat inflasi,
itu sudah cukup," paparnya.
Sementara itu, apabila
berinvestasi di sektor riil, kalau yang digarapnya adalah peluang yang belum pernah dikerjakan oleh orang lain, jika berhasil,
biasanya hasilnya akan lumayan besar. Namun, kalau bisnis yang dipilih sang eksekutif sudah banyak dilakukan oleh
orang lain, maka waktunya akan terkuras banyak untuk mengurusi bisnisnya akibat ketatnya kompetisi. Memang,
kalau suatu bidang usaha terlalu banyak pemainnya, akan cenderung tidak sehat,
dan bahkan bisa terjadi aksi banting harga. "Kalau sudah begitu, modalnya bisa terkuras," tutur Tri Djoko.
Arya Damar,
presdir PT Artajasa Pembayaran Elektronis, menuturkan bahwa mempunyai "obyekan" di sektor riil tidaklah gampang. "Sulit
kalau dikerjakan setengah-setengah," tandas Arya. Ia melihat sukses tidaknya bisnis sampingan
sang eksekutif tergantung pada apakah dia mempunyai talenta atau tidak. "Kalau tidak berbakat, susah," ucap
dia. Arya justru melihat faktor hobi sang eksekutif berpotensi menjadi modal yang bisa dikembangkan menjadi sebuah
bisnis yang cukup besar. Misalnya, hobi mengotak-atik mobil antik, melukis, main musik, beternak ikan
hias, atau berkebun, bisa menjanjikan imbalan yang lumayan.
Menurut Ferdinand
Poerwoko, diperlukan tekad yang besar jika sang eksekutif ingin berbisnis di sektor riil. "Sebaiknya sejak
awal dia sudah harus mempunyai keyakinan bahwa bisnisnya bisa sukses," tegas Ferdinand. Ini
dianggapnya penting karena begitu seorang eksekutif terjun menjadi pengusaha, dia bakal
banyak kehilangan berbagai fasilitas kelas satu yang sebelumnya pernah dinikmatinya sebagai eksekutif puncak.
Apalagi menjadi pengusaha bukannya tidak ada tekanan, terutama karena penghasilannya sangat bergantung pada situasi
bisnis. "Ini berbeda dengan menjadi eksekutif, yang entah dalam kondisi krisis ekonomi atau
tidak, tetap saja ada penghasilannya segitu," ungkapnya.
Walau tidak
tertutup kemungkinan perolehannya bisa lebih besar, umumnya penghasilan eksekutif dari bisnis
sampingan atau investasi pribadi lebih kecil dari gaji bulanannya. Pasalnya, mereka dituntut
harus berhati-hati. Jika tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam berbisnis sendiri, malah bisa menghabiskan
pendapatan bulanannya. "Banyak kasus yang seperti itu," ungkap Tri Djoko. Menurut dia, biasanya mereka tidak
memasukkan pendapatan dari hasil bisnis sampingan atau investasi personalnya dalam keseluruhan portofolio penghasilan
bulanannya. "Biasanya dananya disimpan untuk nanti, kalau pendapatan bulanannya menipis atau menghilang," ungkapnya.
Sementara itu,
Andri Irwanto menuturkan bahwa penghasilannya dari bisnis sampingannya sebagai konsultan memang kadang
bisa lebih besar ketimbang gaji bulanannya. "Kadang-kadang itu terjadi," paparnya. Namun, dalam keadaan
normal, biasanya side job Andri memberikan kontribusi sekitar 60% dari gajinya sebagai
associate manager Prudential.
Bicara soal
perolehan, Risza Bambang, associate director marketing group head PT Asuransi AIG-Lippo Life, tak
segan-segan mengakui bahwa penghasilan dari bisnis sampingannya bahkan bisa menyamai gaji yang diterimanya
dari pekerjaan tetapnya. Risza memiliki bisnis pembangunan dan penyewaan rumah, yang ia sewakan sekitar
US$2.000-2.500 per bulan. Dan saat ini ia mempunyai tiga unit rumah. "Jika dikalikan, hasilnya bisa
sama dengan gaji saya," ungkap Risza.
Selain itu,
Risza juga memperoleh penghasilan dari bisnis event organizer kecil-kecilan, dan menjadi staf
pengajar ilmu financial planning. "Saya memang mau menjadi entrepreneur. Target saya, 5-10 tahun lagi sudah memiliki
usaha sendiri dan menjadi bos untuk diri sendiri," tegasnya.
Identifikasi Persoalan
Eksekutif Memiliki Bisnis Sampingan atau Investasi Pribadi: 1. Mengandung potensi conflict of interest yang cukup tinggi. 2. Bisa muncul tudingan
melakukan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). 3. Belum jelas formulasi perizinan atau persetujuan dengan perusahaan tempat
ia bekerja. 4. Bisa merugikan perusahaan tempat ia bekerja. 5. Dituntut harus mampu membagi waktu dengan pekerjaan
di perusahaan. Jangan menggunakan jam kerja perusahaan untuk menangani bisnis sampingan. 6. Cenderung enggan mengekspos
bisnis sampingan yang dimilikinya karena tak mau dikenai pajak penghasilan yang lebih besar. Diolah dari wawancara
Manfaat Eksekutif
Memiliki Bisnis Sampingan atau Investasi Pribadi: 1. Memiliki sumber penghasilan lain atau tambahan penghasilan. 2. Memberikan perasaan
aman yang lebih karena job security makin berkurang. 3. Memiliki modal apabila ingin menjadi pengusaha atau investor setelah
tak lagi menjadi eksekutif atau orang "gajian". 4. Memiliki dana dalam menghadapi usia lanjut. Diolah dari wawancara |
Bisnis Indoneia, 9 Oktober 2003
Entrepreneur itu berasal dari kata Prancis entreprendre yang berarti memulai,
mengambil inisiatif dan tindakan sejenis. Artinya dalam konteks bisnis, itu berarti memulai sebuah usaha atau bisnis. Kamus
Webster kemudian mendefinisikannya sebagai seseorang yang mengorganisasi, mengelola, dan mengambil risiko dari suatu bisnis
atau perusahaan.
Definisi entrepreneur ini terus berkembang dengan bermacam penekanan sejalan
dengan peradaban manusia. Richard Cantillon (1730), misalnya, mendefinisikan entrepreneur sebagai orang yang mempekerjakan
diri sendiri. Mereka adalah orang-orang yang membeli sesuatu pada harga tertentu dan menjualnya pada harga tak tentu di masa
depan. Entrepreneur di sini identik dengan mereka yang menanggung ketidakpastian (uncertainty) atau risiko.
Ekonom kondang Austria, Joseph Schumpeter, pada 1934 lebih menekankan pada
aspek inovasi. Dalam definisi Schumpeter, seseorang bisa disebut entrepreneur kalau mampu menghasilkan produk baru, metode
produksi baru, pasar atau bentuk organisasi yang baru.
Jadi, menurut definisi ini, kekayaan terbentuk bila inovasi semacam itu menghasilkan
permintaan baru. Di sini, entrepreneur haruslah berfungsi menggabungkan berbagai input secara inovatif untuk menghasilkan
nilai bagi konsumen (harganya tentu diharapkan lebih mahal dari input), sehingga terciptalah kekayaan.
Dalam definisi Schumpeter ini, entrepreneur menggerakkan pasar jauh dari
ekuilibrium. Sebaliknya, Israel Kirzner (1979) menawarkan definisi entrepreneur sebagai seseorang yang mengenal dan bertindak
atas peluang pasar, sehingga hasilnya menggerakkan pasar ke ekuilibrium.
Terlepas dengan variasi definisinya, sejarah peradaban manusia telah membuktikan,
tidak semua orang terlahir dengan kemampuan semacam ini. Bahkan statistik membuktikan, mayoritas manusia tidak menjadi entrepreneur
dan dari jumlah yang kecil ini pun hanya sedikit yang menjadi entrepreneur hebat.
Delapan puluh tahun lalu, remaja 14 tahun John R. Simplot kabur dari rumah
karena bosan memerah susu. Dia kemudian membangun perkebunan kentang yang hingga kini menjadi pemasok utama McDonald. Enam
puluh tahun setelah Simplot, Bill Gates drop-out dari Harvard untuk membuka perusahaan kecil Microsoft. Tentu kita semua tahu
bahwa sampai saat ini, Gates menjadi orang terkaya di planet ini.
Terlepas dari kontroversi yang kemudian menyeret Microsoft ke sejumlah masalah
monopoli, Gates tetap menjadi figur yang memberi inspirasi bagi munculnya banyak pengusaha teknologi informasi di seluruh
dunia, sehingga sempat hadir eforia.
Bagi kalangan psikolog, sukses orang-orang macam Gates menimbulkan pertanyaan,
apa yang menyebabkan dia berbeda dari mayoritas warga dunia yang tidak pernah memulai sebuah bisnis, hanya menonton dia sukses
dan menjadi sangat kaya.
Alexander Zelaznick, profesor psikologi di Harvard Business School, membuat
kesimpulan menarik setelah mewawancarai para entrepreneur selama bertahun-tahun. Menurut Zelaznick, entrepreneur tidaklah
merasakan risiko atau terbebani seperti yang dihadapi kebanyakan orang. "Untuk memahami entrepreneur Anda harus memahami psikologi
anak muda pemberontak."
Di tingkat nasional, tidak sedikit warga Indonesia yang dalam tingkatan tertentu
menjadi entrepreneur hebat. Tentu menjadi pertanyaan, apa yang menjadi ukuran seseorang bisa disebut entrepreneur hebat seperti
yang rutin dilakukan Ernst & Young dengan Entrepreneur of The Year (OEY). Menurut panitia, penilaian didasarkan pada spirit,
kinerja keuangan, arah strategis, dampak global, inovasi, integritas dan pengaruh pribadi para entrepreneur.
Hasilnya, muncul 15 finalis dengan jenis usaha dan latar belakang yang beragam.
Ke-15 finalis ini tentu saja belum merepresentasikan begitu banyak entrepreneur di Indonesia.
Proses seleksi dilakukan secara ketat oleh dewan juri yang terdiri dari beragam
latar belakang seperti Kuntoro Mangkusoebroto (mantan Menteri Pertambangan dan Energi), Gunarni Suworo (bankir di PT Bank
Niaga Tbk), MS Sembiring (direktur PT Bursa Efek Jakarta), Purnomo Prawiro (Blue Bird Group), dan Anh Dung Do (IPMI Graduate
School of Business).
Setiap orang tentu saja memiliki pandangan dan pilihan atas siapa entrepreneur
yang layak. Tetapi pesan utamanya bukanlah pada siapa yang menang, tetapi belajar dari mereka yang terpilih.
Pengalaman adalah pelajaran terbaik. Pengalaman para finalis EOY 2003 ini
tentu saja dapat menjadi pelajaran berharga. Sekolah bisnis memang mengajarkan banyak masalah kompleks seperti bagaimana memperoleh
proyek atau bagaimana menganalisis nilai kini (net present value) dari sebuah sumber daya, tetapi ketika hendak memulai sebuah
usaha cenderung melupakan pelajaran amat penting yang paling sederhana yaitu fokus. Nafsu ingin menguasai dunia, bukannya
negatif, tetapi dapat mengabaikan pencapaian tujuan yang jelas dan terukur.
Tentu, kalau benar temuan Kelly Shaver, profesor psikologi di William &
Mary Colledge, yang meneliti sifat para entrepreneur, mereka memiliki kesamaan yaitu tidak mempedulikan apa yang orang lain
pikirkan tentang mereka. Mereka hanya senang untuk menjalankan sesuatu, dan mungkin tidak penting untuk dianggap hebat atau
tidak oleh orang lain.
Jadi, dalam konteks ini, mungkin tidak lah penting bagi para finalis Entrepreneur
of The Year 2003 ini terpilih sebagai pemenang atau tidak. Tetapi mungkin lebih penting bagi orang kebanyakan, diantaranya
tentu ada yang ingin belajar menjadi entrepreneur.
|