Dalam mencari para pengusaha muda usia 35 tahun atau kurang, Warta Ekonomi
menetapkan ukuran kuantitatif dan kualitatif. Ukuran kuantitatif, misalnya, minimal memiliki 10% saham,
perusahaannya sudah beroperasi selama dua tahun, omzet minimal Rp3 miliar per tahun. Adapun
ukuran kualitatif, antara lain, bagaimana caranya memulai dan mengelola usaha, mempertahankan keunggulan usaha, serta
sejauh mana manfaatnya bagi lingkungan, baik bagi masyarakat maupun negara.
Kriteria-kriteria tersebut kemudian kami bobot, dengan pemberian bobot lebih besar
kepada indikator kualitatif. Hasilnya? Berikut beberapa pengusaha muda berusia 35 tahun
atau kurang yang layak menjadi unggulan.
Andreas Thamrin, 27
Pemilik Games Market dan Operations Manager Digitone Pty Ltd.
Sejak
SMU, putra pengusaha Hermes Thamrin ini tinggal di Australia. Di Negeri Kanguru, pria kelahiran
17 Desember 1977 ini berbisnis entertainment software, khususnya games, yang dijualnya via internet. Produknya
adalah games untuk komputer PC, Sony Playstation, Microsoft Xbox, Nintendo Game Cube, dan Apple Macintosh.
Dengan modal uang simpanan A$30.000, omzet bisnisnya terus meningkat hingga mencapai A$820.000 pada 2002-2003.
Kini Andreas memulai bisnis barunya, yaitu ritel ponsel 3G. Sejak akhir 2002 Andreas
sudah mendekati pihak Hutchison Whampoa, operator 3G di Australia, supaya bisa membuka toko ritel produk-produk
3G. "Beda dengan di Indonesia yang toko ritelnya bisa menjual multibrand dan multioperator,
di Australia menganut prinsip multibrand, one operator," ungkap Andreas. Keuntungannya, ia mendapat dukungan
operator berupa interior senilai A$50.000 per toko.
Awalnya penjualan Andreas seret karena operator masih mengalami problem jaringan dan bentuk
ponsel 3G yang besar dan boros baterai. Namun, pelan-pelan penjualannya meningkat. Selain memiliki
cabang di Sydney dan Perth, dengan 50 karyawannya, Andreas mengincar Brisbane, Adelaide, dan Melbourne.
Ia juga berhasil menjadi "Dealer of The Year", mengalahkan 150 dealer lainnya di Australia.
Omzetnya kini sekitar A$15 juta, dan ia menargetkan tahun depan sekitar A$30 juta.
Alfred Boediman, 31
CEO Starbay Development
Co. Ltd.
Penyandang gelar magister dari Universiteit Brussel, Belgia, ini pernah menjadi profesional
di Oracle dan Siemens, Singapura. Setelah berhasil mengumpulkan sejumlah dana, Alfred memutuskan untuk
mendirikan usaha sendiri. Dengan US$1,3 juta, yang berasal dari tabungan serta sokongan orang tua dan dua orang temannya,
ia mendirikan usaha sendiri dengan bendera Starbay dan berbasis di Singapura. Alfred turut membidani
kelahiran PT Pratama Sukses Sejati (dengan memiliki 40% saham), I-Kom Communication (40%), dan
punya saham di SNAP Media (40%), PR Sigma Solusi Integrasi (14%), dan PT mVcommerence Indonesia (2%).
Tahun lalu Starbay membukukan laba Rp10 miliar.
Beno Pranata, 30
Presdir
PT Mitra Karya Perkasa
Lahir di Surabaya, 5 Mei 1974, Beno menghabiskan sembilan
tahun usianya di AS untuk mengambil studi S1 dan S2. Ia mendapat ide berbisnis saat kuliah S2 di jurusan
finance, Northeastern University, Boston. Kala itu, sembari kuliah, Beno bekerja paro waktu di sebuah perusahaan
kurir layan antar.
Sepulang dari Negara Paman Sam, Beno berpikir pekerjaannya cocok jika
dikembangkan di Indonesia. Bersama tiga rekannya, ia mendirikan PT Mitra Karya Perkasa pada akhir 2002.
Awal 2003, mereka mulai menjalankan bisnis jasa layan antar produk makanan dengan nama Pesan Delivery.
Dengan investasi Rp350 juta, anggaran terbanyak diperlukan untuk pengembangan
sistem teknologi informasi. "Di situlah jantung usaha kami," ujar Beno. Selebihnya untuk sewa rumah sebagai kantor.
Menurut Beno, dalam sebulan mereka bisa mendapat omzet Rp400-500 juta dengan profit margin 5%-10%
yang diambil dari komisi pemesanan restoran bersangkutan.
Bedanya dengan layanan restoran konvensional, Pesan Delivery memakai sistem TI sehingga
lebih efisien dan cepat dalam pengantaran. Delivery man perusahaannya juga tidak harus bolak-balik
dari restoran ke pelanggan karena melayani banyak restoran. Setelah si delivery man mengantarkan
makanan ke tempat pelanggan, ia tidak perlu kembali ke kantor atau restoran semula, tetapi cukup stand-by
di restoran terdekat.
Kini Beno memiliki 60 karyawan. Dalam mengelola bisnisnya, Beno sering
berdiskusi dengan anak buahnya. Alasannya, justru dari merekalah Beno bisa mengetahui perkembangan
pasar setiap harinya yang terus berubah, sehingga Beno tidak terlambat mengantisipasi.
Christovita Wiloto, 35
Presdir PT Wiloto Corporation
Saat
menjadi corporate secretary BPPN, nama Christovita Wiloto kerap menghiasi media massa. Namun kini, namanya lebih
dikenal sebagai pengusaha public relations. Dalam tempo empat tahun sejak 2000, laki-laki berusia 35 tahun ini bisa
mengembangkan bisnis dengan modal awal Rp30 juta menjadi senilai Rp6,2 miliar pada tahun
lalu, dengan tingkat keuntungan 30%-an. "Mungkin akhir tahun ini omzetnya bisa naik satu setengah
kali lipat," ujarnya.
Christov ingin Wiloto Corp. menjadi perusahaan komunikasi terintegrasi
berskala internasional. Tak heran jika ia kini sibuk membangun networking ke beberapa negara untuk menggaet
klien. "Ada yang berhasil, ada yang gagal," katanya. Ia menyadari, menjadi pengusaha
itu banyak risikonya. "Namun, yang penting, risiko itu harus bisa dipelajari, diantisipasi,
dan disiapkan solusinya," ujar dia.
Walau bisnis public relations tak membutuhkan modal terlalu besar, Christov menegaskan
bisnisnya ini erat hubungannya dengan kepercayaan. Ia berprinsip, bisnisnya bisa berkembang
karena memperoleh kepercayaan dari orang lain. Ia juga berupaya menjaga networking dan reputasi. "Klien
yang saya dapatkan hampir 99% datang sendiri, bukan kami yang mencari," tuturnya.
Prinsip berikutnya yang dipegangnya adalah bekerja secara profesional, smart, dan meningkatkan kompetensi
serta membangun teamwork yang solid bersama 15 orang karyawannya.
Eko Hendro Purnomo, 33
KASAD (Komandan Setingkat Direktur)
PT E Titik Tiga Komando
Lulusan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) ini
lebih ngetop dengan nama Eko Patrio. Saat krisis melanda negeri ini pada 1998, otak bisnisnya langsung bekerja.
Diawali dengan usaha kafe tenda, ia lalu mendirikan holding company bernama PT E Titik Tiga Komando pada tahun
2000. Bisnisnya yang semula hanya berupa rumah produksi, menjalar hingga restoran, salon, butik, dan
percetakan. "Saya puas menjadi pelawak, tetapi boleh dong melakukan diversifikasi," tuturnya, jenaka. Tahun
kemarin, rumah produksinya mencatat omzet Rp6 miliar dengan profit margin 40%. Sementara itu, salon Labuzet
yang didirikannya dengan modal Rp200 juta, kini beromzet Rp720 juta. Demikian juga PT Catur
Mitra Promosindo yang bergerak di bidang printing, advertising, dan publishing, mampu mengumpulkan
omzet Rp3 miliar per tahun.
Estelita Hidayat, 32
CEO BIDS Global Consultant
Perempuan
berusia 32 tahun ini sebenarnya lebih banyak dikenal sebagai pengusaha periklanan lewat PT Voxa Integra,
yang ia dirikan bersama kakak dan dua temannya pada 1995. Ia lalu mendirikan Innovoxa, divisi media inovatif lewat PT
Voxainfini Kreasi. Tahun lalu Voxa Integra membukukan omzet Rp11 miliar, sementara Innovoxa Rp10 miliar.
Kini Estelita menggarap bisnis jasa konsultasi manajemen bernama
BIDS Global Consultant. Ia bergabung di perusahaan ini pada 2001. Saat itu BIDS kesulitan menembus
klien, dan Lita diminta membuka jalan. "Saat itu kondisi BIDS 'berdarah-darah'," kenangnya. Di bawah komandonya,
BIDS, yang memiliki 12 karyawan, tahun ini mulai mencetak profit dengan omzet di atas Rp4 miliar setahun.
Lita mengakui bahwa bisnis konsultan berbeda dengan advertising, yang tetap dikelolanya.
"Setiap harinya saya harus membagi kerja otak kiri dan otak kanan," ucapnya. Jika berada di BIDS, ia banyak menggunakan
otak kirinya, saat di Voxa ia lebih dominan memakai otak kanan.
Etika dalam berbisnis selalu dipegang teguh olehnya. Ia tak menampik bahwa
bisnis konsultan rawan akan kebiasaan buruk yang tidak sesuai hati nurani. "Uang bawah meja," cetus
Lita saat ditanya apa yang paling meresahkannya. Sebisa mungkin Lita berbisnis dengan bersih.
Erwien Nurwihatman, 34
Managing Director PT Capella
Sumber Intranet
Erwien mengaku tak patah semangat meski kinerja bisnis TI di Indonesia sedang menurun
dan berdampak buruk pada tingkat penjualan perusahaannya. Ia menyebut bisnis TI memang ganas dan berisiko tinggi.
Persaingannya ketat dan saling mengejar dalam hal pengetahuan dan teknologi. Untuk menyiasatinya,
Erwien mencoba fokus dengan mencari nilai lebih di bidang jasa TI, seperti jasa konsultansi dan layanan implementasi,
dibandingkan dengan penjualan produk TI.
"Tren dunia memang penjualan barang TI menurun dibanding jasanya,"
ujar Erwien. Tahun lalu, ungkapnya, komposisi pendapatan perusahaannya adalah 50% dari perangkat
keras, 30% dari services, dan 20% dari lain-lain. Omzetnya pernah mencapai Rp5 miliar,
tetapi pernah juga turun hingga Rp1 miliar. Sementara itu, profit margin perangkat keras 15% dan services
40%. Erwien mengaku memiliki saham kurang dari 20% di perusahaan yang modalnya digalang bersama teman-temannya
itu.
Selain meningkatkan brand equity merek Capella, Erwien juga mencoba mengejar target
pasar yang spesifik. "Saya ingin menjadi spesialis di bidang tertentu, seperti wireless, security,
QoS, dan Linux." Sejak tahun 2002, ia menjadi partner strategis Cisco Systems di pasar jaringan. Ia juga berupaya
setiap tahun harus ada produk baru dengan teknologi terkini, seraya terus meningkatkan kemampuan SDM
perusahaannya. "Sebenarnya yang saya jual adalah skill SDM," tuturnya.
Fahira Fahmi Idris, 35
Dirut PT Nabila Parcel Bunga
International
Di samping parsel, sudah sejak 1995 Fahira mengembangkan bisnis
florist. Jika bisnis parselnya amat tergantung pada hari raya, bisnis florist berjalan setiap hari. Meski begitu, pendapatannya
dari bisnis parsel diakuinya masih lebih tinggi.
Dirintis sejak 16 tahun lalu, tahun kemarin omzet bisnisnya mencapai Rp5-7 miliar
dengan profit margin 5%-10%. Jumlah karyawan tetapnya 55 orang, dan bisa mempekerjakan 300 orang menjelang hari-hari
besar. "Awalnya ide itu muncul hanya untuk mengisi waktu luang di hari libur, menjelang
hari raya," tutur Fahira soal bisnis parselnya.
Bersama sepuluh temannya, Fahira mengawali bisnisnya dengan modal Rp500.000.
Meski ayahnya, Fahmi Idris, pengusaha terkenal, Fahira mengaku tak mendapat bantuan sedikit pun.
"Ayah saya galak," katanya. Namun, itu justru memaksanya untuk mandiri.
Selain mempertahankan bisnisnya, kini Fahira sudah menyimpan rencana ekspansi di
bisnis kecantikan dengan membuka salon one-stop shopping. "Klien saya kebanyakan ibu-ibu, dan saya melihat
banyak salon belum bisa memenuhi kebutuhan mereka," tuturnya.
Hendy Widjaja, 34
Managing
Consultant PT Insight Consultant
Keputusan penyandang gelar Master of Science dari Louisiana
State University, AS, untuk keluar dari perusahaan konsultan PricewaterhouseCoopers (PwC)
bisa dibilang tepat. Ia berhenti menjadi karyawan pada tahun 2000. Dua tahun kemudian,
Oktober 2002, bersama seorang seniornya di PwC, ia mendirikan perusahaan konsultan manajemen, TI, dan perdagangan
produk TI, berbendera Insight Consultant. Hingga kini perusahaannya meraup pendapatan kotor US$1 juta
dengan profit margin 30% per tahun.
Ian Rangkuti, 33
Presdir
PT Natnit.net
Ian Rangkuti memilih berhasil mengembangkan usaha bersama mitranya
dibanding mengutamakan besarnya kepemilikan usaha. "Dengan sistem bisnis kolektif, investasi
dapat ditekan," ujarnya. Risikonya memang bisa saja konsep bisnisnya diserobot pihak lain. Namun, kelemahan itu
dihindarinya dengan tak salah menggandeng mitra.
Melalui PT Natnit.net yang didirikan dengan modal Rp300 juta, Ian membangun bisnis perdagangan
via internet yang disosialisasikan lewat tabloid Natnit.net. Perpaduan cara ini memberinya omzet Rp6-7 miliar
setahun, dengan profit margin lebih dari 10%. Ia mengaku, pada tahun kedua modalnya sudah kembali.
Bisnis lainnya dijalin lewat VendingOn.Net. Menurut Ian, saat ini VendingOn.net telah melakukan
perdagangan online di 31 portal internet dengan rata-rata 2-5 unit penjualan per hari per portal.
Ian mulai dengan menjual produk-produk seharga di bawah Rp250.000 dan menerapkan sistem
cash on delivery. Namun kini, papar Ian, konsumen sudah berani dengan sistem transfer via bank untuk pembelian
hingga Rp1,5 juta.
Kini Ian bersiap melakukan ekspansi ke Filipina. "Kami sedang merintis kerja sama
dengan perusahaan internet di Filipina, seperti Yehey.com, Iskul.org, dan Findme.co.ph, mendirikan jaringan
Natnit.net di sana," ungkapnya.
Iin Mintosih, 34
Dirut
PT Satu Kupu
Cuma bermodal Rp2 juta, lulusan teknik arsitektur Universitas Atma Jaya, Yogyakarta,
ini nekat mendirikan PT Satu Kupu. Iin menguasai 100% sahamnya. Kini, perusahaan yang memulai usaha pada Maret
1999 itu mempunyai omzet Rp3 miliar per tahun. Bisnis Iin adalah membuat bantal, sprei, dan bed cover eksklusif untuk
konsumsi dalam negeri maupun ekspor. Profit margin-nya 50%.
Izak Jenie, 34
Direktur Jatis Solution
Peraih penghargaan "Pengusaha Muda 2001" versi Ernst & Young ini
bersama beberapa rekannya mengumpulkan uang hingga mencapai Rp1 miliar. Tujuannya cuma satu:
mendirikan perusahaan yang akhirnya diberi nama Jatis Solution. Lewat Jatis, mereka sempat menggarap
proyek internet banking BCA dan beberapa bank lain. Jatis pun berekspansi ke Singapura, Taiwan, Malaysia,
dan Filipina. Terakhir, Izak hanya menguasai 10% saham, karena mayoritas saham Jatis dimiliki perusahaan
modal ventura 3i.
Joseph Edi Lumban Gaol, 35
CEO PT Antar Mitra Perkasa
Fokus
bisnis PT Antar Mitra Perkasa adalah memberikan nilai tambah bagi produk telekomunikasi bergerak, berupa
aplikasi data melewati fasilitas komunikasi, seperti SMS atau download ring tones. Joseph menyebut
dirinya sebagai agregator yang mengirimkan content dan aplikasi data ke hampir semua pelanggan operator.
"Saya punya semacam short-code yang bisa diakses dari semua operator," paparnya.
Setelah sukses menggarap mobile banking BCA dan Excelcomindo Pratama, Joseph
merancang TV show interaktif "Nyit-nyit-nyit" yang pernah ditayangkan di Metro TV. Acara itu tak sekadar mengirimkan
SMS interaktif, tetapi juga mengundang pemirsa berinteraksi. Untuk mengikuti acara tersebut, pemirsa
harus mendaftar terlebih dahulu via SMS.
Saat ini Joseph sedang getol menggarap download ring tones telepon selular.
"Kami legal karena selalu membayar royalti ke pencipta lagu atau komposer," ungkapnya. Ia tak menampik,
masih banyak pelaku industri content mobile yang tak melakukannya. Padahal itulah etika dalam
berbisnis.
Joseph sadar, bisnisnya ini "mahal" karena teknologinya masih diimpor. "Namun, saya
berani mengambil risiko, terutama jika didasari perhitungan yang matang," tegasnya.
Jadi, jika tak menambah revenue perusahaan, ia lebih baik tidak berinvestasi atau meluncurkan
produk baru.
Perusahaan Joseph kini sudah berjalan lima tahun. Omzetnya Rp8 miliar
per tahun. Ke depan, ia memperkirakan perusahaan akan tumbuh 20%. "Saya optimistis itu tercapai," tandasnya.
Kanaya Tabitha, 32
Pemilik
Rumah Mode Kanaya
Ibu satu anak ini merintis Rumah Mode Kanaya sejak 1998.
Perancang yang pernah mengikuti Hong Kong Fashion Week ini memproduksi busana berlabel namanya sendiri, Kanaya
Tabitha. Selain mengandalkan pendapatan dari hasil rancangan, ia juga melayani pembuatan seragam
dari berbagai instansi, termasuk militer. Bahkan, kadang ia bertugas menjadi konsultan
fashion Presiden Megawati Soekarnoputri. Ia mengaku, tiap tahun omzetnya mencapai Rp4 miliar dengan profit
margin di atas 15%.
Lasman Citra, 34
CEO
Rajawali Tri Manunggal
Setelah gagal di bisnis peternakan ayam, ikan, dan penggilingan padi,
Lasman memutuskan untuk menjadi profesional. Ia pun bekerja di PT Metrodata Electronics. Setelah mendapat bekal
ilmu, kepercayaan diri Lasman kembali tumbuh untuk mendirikan perusahaan sendiri. Tahun 1999, ia mendirikan PT
Nusantara Data Solusi, sebuah perusahaan sistem integrator yang bermitra dengan Metrodata. Setahun kemudian, perusahaan
itu melakukan merger dengan Rajawali Tri Manunggal (RTM). Lasman menguasai 30% saham
dan dipercaya menjadi CEO. Tahun lalu, RTM mencatat omzet US$30 juta. Kini, RTM merambah ke bisnis penyedia jasa infrastruktur
telekomunikasi dan jaringan.
Naomi Susan, 29
Pemilik PT Ovis SendNSave
Perempuan kelahiran Januari 1975 ini sebelumnya lebih dikenal sebagai pengusaha
bisnis kartu diskon belanja. Bisnis yang dioperasikannya sejak 1997 itu sudah mencapai jumlah 3,7 juta pemegang
kartu. Melihat adanya potensi bisnis yang bisa dikembangkan di fasilitas aplikasi data atau SMS yang sudah
umum digunakan pengguna ponsel yang sekarang tercatat sudah berjumlah 22 juta pengguna, ia lantas
mempunyai ide bisnis baru.
Di bawah bendera PT Ovis SendNSave, sejak tahun lalu ia menawarkan layanan semacam
fasilitas kartu diskon belanja juga. Bedanya, keanggotaan dan pemanfaatan kartu diskon
belanja itu dilakukan lewat SMS. Ia memperoleh pendapatannya dari pulsa pengguna.
"Memang saya cuma mendapat beberapa ratus perak, tetapi kuantitasnya banyak," ungkapnya. Ide bisnis baru
ini ternyata mendapatkan sambutan positif dari operator selular yang bersedia berbagi pendapatan 50:50. "Semua
operator sekarang sudah bekerja sama dengan saya," tuturnya.
Tak berhenti hanya dengan dua bisnis
itu, tahun ini Naomi bersama rekannya mempunyai "mainan" baru berupa bisnis layanan carter
pesawat. Ide itu muncul ketika ia menerima banyak keluhan orang yang ingin berlibur ke Bali saja tetapi tidak
bisa pergi karena mahal. Ia lantas membuat penawaran paket murah berlibur ke Bali dengan mencarter pesawat sendiri bekerja
sama dengan perusahaan penerbangan Bouraq. Ia juga bekerja sama dengan biro perjalanan dan hotel membuat
paket tur dan penginapan hotel yang murah. "Karena masih baru, pendapatannya masih
naik turun," ujarnya.
Ridwan Prasetyarto, 33
CEO PT eBdesk Indonesia
Sarjana teknik dari
Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mendirikan eBdesk bersama tiga rekannya di tahun 1999. Perusahaan perangkat
lunak yang berfokus pada men- develop portal perusahaan ini mulai komersial di tahun 2000. Kini, mereka
mempunyai 70-an customer yang tersebar di Indonesia, Malaysia, Arab Saudi, dan Amerika Serikat. Di
Indonesia, kliennya, antara lain, Kementerian Riset dan Teknologi, BPPT, Astra International, Satelindo, Bank
Mandiri, Bouraq Airlines, dan Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada. Tahun lalu mereka
mencatat pendapatan Rp4,5 miliar dengan tingkat keuntungan bersih 30%.
Rudi Mulyono, 32
Pemilik Rally Auto Center
Setelah sukses membangun
bengkel mobil seluas 3.200 meter persegi, terluas di Jawa Timur, yang bernama Rally Auto Center,
tahun ini Rudi merambah ke bisnis rokok. Pria berusia 32 tahun ini membangun pabrik rokok di
Kediri dengan nama PT Alam Mega Raya. Rokok dengan logo "RR" itu saat ini menunggu peluncuran
produk perdana. Rencananya, rokok ini tak hanya dipasarkan di sekitar Kediri, tetapi juga di kota-kota lainnya.
Rudi nekat masuk ke bisnis rokok karena ia merasa konsumen perlu alternatif
rokok yang lain. Walau sudah ada merek-merek rokok terkenal, ia tidak gentar. Target yang
diincar adalah perokok kelas menengah ke bawah. Ia ingin menghadirkan rokok rasa Dji Sam Soe tetapi dengan harga kelas
pinggiran.
Setelah pabrik rokoknya berjalan, Rudi akan mengembangkan kafe keluarga yang menyediakan
fasilitas karaoke, meja biliar, dan live music yang menonjolkan suasana kekeluargaan. Bisnis bengkelnya?
Tetap berjalan. Tahun lalu omzetnya Rp12 miliar dengan profit margin 17,5%.
Selain itu, Rudi juga mengelola bisnis hotel, menjadi dealer Suzuki, dan mendirikan BPR.
Saleh Abdul Malik, 33
Chairman PT Altelindo Karya Mandiri
Saleh masih
setia di bisnis teknologi informasi (TI). Belajar dari pengalaman, pengusaha berusia 33 tahun ini
merasa cukup dewasa menghadapi apa pun situasi ekonomi yang terjadi. "Tentu ada pengaruhnya,
tetapi saya berusaha tak lagi bergantung pada risiko-risiko yang ada," tegasnya.
Saleh mengungkapkan, tahun ini ia akan banyak berinvestasi di infrastruktur TI dan pengembangan
perangkat lunak. "Saya berani berinvestasi karena kesempatan tak datang setiap hari," paparnya. Ia juga berencana
melakukan ekspansi ke berbagai daerah, seraya ingin membuktikan bahwa TI bukan cuma dikuasai asing. "Bisnis
TI sebenarnya mudah," ujar Saleh.
Tahun lalu bisnis TI Saleh meraih omzet Rp100 miliar. Padahal ia mengaku mengawalinya
dengan tiga karyawan, modal Rp2 juta, dan tanpa surat izin usaha. Saleh pun terjun langsung ke lapangan
menggarap pembangunan infrastruktur kabel di gedung-gedung. "Saya sendiri yang menarik kabelnya," tuturnya.
Menurut Saleh, kunci sukses bisnisnya adalah layanan, bukan sekadar menjual perangkat
keras atau perangkat lunak. "Ini harus dijaga karena klien puas mengontrak saya berdasarkan
service, bukan produknya," jelasnya. Selain itu, ia harus bisa mengelola bisnisnya seefisien mungkin,
sehingga bisa bersaing dalam hal harga.
Tonton Taufik Rahman, 31
Pemilik PT Rattanland Furniture
Bisnis utama pria asal
Cirebon ini adalah bisnis rotan. Setelah berkembang, Tonton pun meluaskan usahanya ke bisnis transportasi BBM,
pom bensin. Lewat PT Budi Surya Sejahtera, tahun lalu bisnis transportasi BBM-nya meraih omzet Rp7 miliar dengan
tingkat keuntungan 7%.
Dalam berbisnis rotan, Tonton menembus pasaran dunia dengan rajin beriklan
lewat website di internet. Hasilnya menggembirakan. Banyak pembeli dari mancanegara yang menghubunginya,
dan website-nya menduduki peringkat pertama dalam sistem pencarian bisnis rotan di internet. Perusahaan
rotan yang ia dirikan pada 1999 dengan modal Rp1 juta, hingga pertengahan 2004 omzetnya
sudah US$500.000, dan ia yakin bisa mencapai US$1 juta pada akhir 2004.
Tahun ini ia membangun pabrik rotan seluas 8.000 meter persegi. Dalam waktu dekat ia berencana
membangun ruang pamer untuk produk-produk rotannya. Namun, akibat terlalu ekspansif, Tonton berutang
Rp3,1 miliar ke bank. "Cuma, dalam waktu enam tahun bakal lunas," katanya.
Tony J. Johan, 29
Presdir PT Plexis Erakarsa Pirantiniaga
Semula, Tony
yang putra pengusaha kelapa sawit ini diterima bekerja di Citibank. Namun, dia lebih memilih mendirikan
perusahaan pengembangan web dengan modal awal Rp300 juta. Ia sendiri menggenggam 35% saham dari perusahaan
yang membukukan omzet Rp6 miliar per 2003. Usaha yang dinamai Plasmedia itu dilakoninya sejak
lulus kuliah. Kini, bisnisnya berkembang ke bidang lain, seperti jasa implementasi, customization, maintenance,
dan training