Selama ini banyak orang menganggap bahwa jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan intelektual
(IQ) yang tinggi, maka orang tersebut memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar di banding orang lain. Pada
kenyataannya, ada banyak kasus di mana seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi tersisih dari orang
lain yang tingkat kecerdasan intelektualnya lebih rendah. Ternyata IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang
akan meraih kesuksesan.
Daniel Goleman, seorang profesor dari Universitas Harvard menjelaskan bahwa ada
ukuran/patokan lain yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang. Dalam bukunya yang terkenal, Emotional Intelligence, membuktikan
bahwa tingkat emosional manusia lebih mampu memperlihatkan kesuksesan seseorang.
Intelligence Quotient (IQ) tidak dapat berkembang. Jika seseorang terlahir dengan kondisi IQ
sedang, maka IQ-nya tidak pernah bisa bertambah maupun berkurang. Artinya, jika seseorang terlahir dengan kecerdasan intelektual
(IQ) yang cukup, percuma saja dia mencoba dengan segala cara untuk mendapatkan IQ yang superior (jenius), begitu pula sebaliknya.
Tetapi, Emotional Quotient(EQ) dapat dikembangkan seumur hidup dengan belajar.
Kecerdasan Emosional (EQ) tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga meninggal
dunia. Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, dan contoh-contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari orang
tuanya. Kecerdasan Emosi menyangkut banyak aspek penting, yang agaknya semakin sulit didapatkan pada manusia modern, yaitu:
- empati (memahami orang lain secara mendalam)
- mengungkapkan dan memahami perasaan
- mengendalikan amarah
- kemandirian
- kemampuan menyesuaikan diri
- disukai
- kemampuan memecahkan masalah antar pribadi ketekunan
- kesetiakawanan
- keramahan
- sikap hormat
Orang tua adalah seseorang yang pertama kali harus mengajarkan kecerdasan emosi kepada anaknya dengan memberikan teladan
dan contoh yang baik. Agar anak memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, orang tua harus mengajar anaknya untuk :
- membina hubungan persahabatan yang hangat dan harmonis
- bekerja dalam kelompok secara harmonis
- berbicara dan mendengarkan secara efektif
- mencapai prestasi yang lebih tinggi sesuai aturan yang
ada (sportif)
- mengatasi masalah dengan teman yang nakal
- berempati pada sesama
- memecahkan masalah
- mengatasi konflik
- membangkitkan rasa humor
- memotivasi diri bila menghadapi saat-saat yang sulit
- menghadapi situasi yang sulit dengan percaya diri
- menjalin keakraban
Jika seseorang memiliki IQ yang tinggi, ditambah dengan EQ yang tinggi pula, orang tersebut akan lebih mampu menguasai
keadaan, dan merebut setiap peluang yang ada tanpa membuat masalah yang baru.
OPINI
PURDI E CHANDRA Untuk
jadi seorang entrepreneur sejati, tidak perlu IP tinggi, ijazah, apalagi modal uang. "Saat yang tepat itu justru saat
kita tidak punya apa-apa. Pakai ilmu street smart saja," ungkap Purdi E. Chandra, Dirut Yayasan Primagama. Menurutnya, kemampuan
otak kanan yang kreatif dan inovatif saja sudah memadai. Banyak orang ragu berbisnis cuma gara-gara terlalu pintar. Sebaliknya,
orang yang oleh guru-guru formal
dianggap bodoh karena nilainya jelek, justru melejit
jadi wirausahawan sukses. "Masalahnya jika orang terlalu tahu risikonya, terlalu banyak berhitung, dia malah tidak akan berani
buka usaha," tambah 'konglomerat bimbingan tes' itu. |
Purdi memang jadi model wirausaha 'jalanan'
plus modal nekad. Ia tinggalkan kuliahnya di empat fakultas di UGM dan IKIP Yogyakarta. Lalu dengan modal Rp300 ribu ia dirikan
lembaga bimbingan tes Primagama 10 Maret 1982 di Yogyakarta. Sebuah peluang bisnis potensial yang kala itu tidak banyak dilirik
orang. Ia sukses membuat Primagama beromset hampir 70 milyar per tahun, dengan 167 cabang di lebih dari 106 kota. Ia dirikan
IMKI, AMIKOM, Entrepreneur University, dan terakhir Sekolah Tinggi Psikologi di Yogyakarta. Grup Primagama pun merambah bidang
radio, penerbitan, jasa wisata, ritel, dll. Semuanya diawalkan dari keberanian mengambil risiko.
Kini Purdi lebih banyak
lagi 'berdakwah' tentang entrepreneurship. Bagi Purdi, entrepreneur sukses pastilah bisa menciptakan banyak lapangan
kerja. Namun, itu saja tidak cukup berarti bagi bangsa ini. "Saya memimpikan bisa melahirkan banyak lagi pengusaha-pengusaha.
Dengan demikian, makin banyak pula lapangan kerja diciptakan. Itulah Mega Entrepreneur," ungkap Purdi kepada wartawan Edy
Zaqeus dan David S.S. Berikut petikan wawancara yang berlangsung di kantor cabang Primagama, Jakarta.
Bagaimana
semangat wirausaha masyarakat kita? Mungkin begini. Salahnya pendidikan kita itu, kebanyakan orang lulus sarjana baru
cari kerja. Jadi pengusaha itu mungkin malah orang-orang yang kepepet. Yang tidak diterima di mana-mana, baru dia sadar dan
bikin usaha sendiri. Mestinya, kesadaran seperti ini bisa untuk orang-orang yang tidak kepepet. Alasannya, kalau mau usaha
harus ada modal, punya ketrampilan. Padahal tidak harus begitu. Saat yang tepat itu justru saat kita tidak punya apa-apa.
Ibaratnya kalau kita punya ijazah pun, tidak usah dipikirin. Saya dulu tak tergantung dengan selembar kertas itu. Sekarang
mau dijaminkan di bank juga tidak bisa. Hanya buat senang-senang saja kalau sudah sarjana.
Apakah
pendidikan kita sangat bermasalah? Memang saya lihat pendidikan kita itu dari otak kiri saja. Padahal kalau kita garap
yang kanan, porsinya banyak, maka otomatis otak kirinya naik. Tapi kalau kita banyakin kiri, kanan ndak ikut naik. Kanan itu
adalah praktek. Saya bilang street smart. Cerdas di lapangan, di jalanan. Orang yang akademik, sekolahnya pintar, IP
atau nilai tinggi, dia tidak berani menentang teori. Jadi robotlah. Kalau di situ jadi topeng monyet. Dia tidak berani membuat
kreasi sendiri. Padahal hidup dia itu bukan di masa lalu. Hidup dia itu kan di masa datang, dan itu serba berubah cepat. Tidak
ada yang sama dengan teori yang dia pelajari. Teori itu kan hasil temuan. Kenapa kita tidak bisa menemukan sendiri? Saya punya
contoh, manajemen di Primagama, yang tidak ada di teori. Kalau pun ada di teori pasti disalah-salahkan.
Apa itu? Di
Primagama, suami-istri bekerja dalam satu kantor itu malah kita anjurkan. Di lain tempat dan di teori itu ndak boleh! Tapi
saya praktekkanternyata jalan, bagus. Saya melihat, mereka masing-masing bisa saling mengontrol. Maka, menantang teori itu
yang utama. Saya malah bisa menaikkan omset Primagama 60%. Contohnya lagi, iklan Primagama yang pakai aktor Rano Karno. Menurut
orang kampus, dan pernah dibahas di sana, itu ndak bener! Menurut teori ndak benar. Tapi nyatanya, bagus hasilnya? Saya dulu
pernah pakai Sarlito (pakar psikologi dan pendidikan: red), malah ndak ada hasilnya walau dia doktor atau apa. Jadi
street smart itu
Apa artinya street smart? Cerdas di jalanan. Ada
academic smart atau school smart. Tapi street smart itu cerdas dengan praktek. Jadi begini, kalau kita
punya pengetahuan dengan benar, pengetahuan itu kan akademik. Kita tidak strong, gugur! Kita tidak akan bisa. Kita
tidak akan bisa benar. Waktu SD itu ada bacaan-bacaan begini; "Ibu pergi ke pasar membeli sayur." Kok tidak yang menjual sayur
saja? Kok kata-katanya selalu membeli, bukan menjual? Teryata setelah saya urut-urut, yang nulis itu guru. Coba kalau isinya
diubah menjadi menjual, itu akan lain.
Kenapa tertarik menonjolkan sisi menjualnya? Kalau
saya bertransaksi, itu nilai tambah. Dalam transaksi, duit paling banyak itu kan pengusahanya? Dan paling banyak milik pengusaha.
Coba kalau misalnya yang satu membeli saja. Akan terbatas transaksinya. Sehingga kalau memang harus banyak pengusahanya, ya
untuk menjual.
Setuju dengan pemikiran Kiyosaki "If you want to be rich and happy,
don't go to school"? Kalau saya if you want to be rich and happy, ya.... Kalau ingin kaya, ngapain sekolah?
Kalau di sekolah tidak akan happy dan kaya. Pendidikan kita tidak bikin happy, malah bikin stres anak. Porsi mainnya kurang.
Sejak Taman Kanak-kanak sudah dipaksa main otak kiri. Mungkin itu karena dari mentrinya sampai orang-orang tuanya itu otak
kiri semua, kan? Dikatakan figur yang bagus itu yang profesor, yang doktor. Padahal kalau kita pilah, yang pintar sekolah
memang jadi dosen, jadi dokter. Yang sedang-sedang saja jadi manajer. Tapi yang bodo-bodo sekolahnya malah jadi pengusaha.
Penelitian di Harvard begitu.
Penyikapan guru terhadap anak yang bodo kok divonis tidak punya masa depan? Mungkin
dia berani, kreatif, bisa menemukan apa yang tidak ditemukan oleh anak-anak pintar. Nah, pendidikan kita itu semua mau dijadikan
ilmuwan. Seolah ngejar otak kiri saja, ngejar school smart saja.
Apa yang harus
dilakukan untuk membongkar sistem seperti itu? Memang berat karena dari dulu juga begitu. Maka harus lewat luar, kegiatan-kegiatan
ekstra. Maka saya usulkan pendidikan kita dibuat dua sistem; sistem ijazah dan sistem tanpa ijazah. Kalau sekolah tanpa ijazah,
orang akan cenderung cari ketrampilan dari praktek yang kelihatan. Yang pakai ijazah untuk yang mau jadi dosen, jadi dokter,
jadi ilmuwan. Kalau pelajaran kimia yang pakai ijazah, ya ilmuwan itulah. Kalau kimia yang tidak pakai ijazah, pilihannya
ya bikin deterjen, bikin sirup, bikin apa saja yang ada manfaatnya. Kalau semua harus belajar kimia, padahal kita tidak tertarik,
berarti dipaksa dan tidak happy jadinya.
Kalau di tataran konseptual, apa yang
mesti dilakukan? Saya kira Dikbud (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: red) itu merasa bahwa yang menentukan
masa depan Indonesia itu dia. Bikin kurikulum, walaupun sumbernya dari masyarakat, tapi sering terlambat. Kurikulum tahun
lalu baru dipakai sekarang. Lebih cepat di luar, kan? Maka kalau saya, pendidikan itu tidak usah diatur. Perguruan Tinggi
siapa pun boleh bikin. Dan itu masyarakat yang menilai. Hukum pasar! Titel MBA atau apa dilarang, kenapa? Alamiah aja. Nanti
kalau kebanjiran itu orang ndak mau pakai, kan ndak masalah? Kalau banyak manajer belajar ilmu untuk mendapatkan MBA, itu
kan bagus? Dalam pendidikan itu sebenarnya mereka dagang. Kalau model-model pendidikan itu masyarakat yang mengembangkan,
mungkin baru bagus. Karena pas dengan zaman itu. Misalnya Mc Donald mau bikin Universitas Mc Donald, kenapa tidak?
Bagaimana dengan Entrepreneur University yang Anda dirikan? Sebagai entrepreneur, saya punya
visi Mega Entrepreneur. Artinya bagaimana seorang pengusaha bisa menciptakan pengusaha lainnya. Kalau pengusaha bisa menciptakan
lapangan kerja, itu sudah biasa. Yang saya kejar adalah bagaimana saya bisa menciptakan banyak pengusaha. Dulu visi saya memang
menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Kalau seperti itu kan lama. Mungkin hanya ribuan lapangan kerja. Tapi kalau
bisa menciptakan banyak pengusaha, lapangan kerja yang tercipta lebih banyak lagi.
Karyawan saya pun saya usahakan
bisa jadi pengusaha. Kayak manajer-manajer saya, semua sudah punya usaha di luar. Saya ditentang oleh Renald Kasali. Katanya
menurut teori itu tidak bisa. 'Orang kerja kok diajak merangkap jadi pengusaha, itu ndak bisa!'. Saya praktekkan ternyata
bisa. Manajer saya punya perusahaan mebel. Menurut Kiyosaki, di sini dia sebagai employee, di luar dia sebagai business
owner karena yang mengelola orang lain. Ada manajer saya yang buka bengkel motor. Sopir saya punya kenteng mobil. Sopir
saya yang lain punya bisnis jual beli handphone. Karyawan- karyawan itu mau jadi manajer semua ndak mungkin, kan? Harapan
paling besar saya, ya mereka jadi pengusaha.
Sejak kapan Entrepreneur University berjalan? Entrepreneur
University (EU) berjalan baru setahun. Sebelumnya kita sudah sering adakan pelatihan di mana-mana. Tapi cuma beberapa hari,
lalu selesai tidak ada follow up. Sekarang lebih jelas, kita ada follow up. Misalnya kita adakan tiga bulan,
setelah itu ada klub entrepreneur. Yang itu bisa dilakukan lewat internet, pertemuan-pertemuan, dan juga konsultasi
seperti tadi.
Di EU diutamakan yang indeks prestasinya (IP) rendah. Memang pernah ada yang protes, orang mau
masuk tapi IP-nya tinggi, dia jadi minder. Tapi memang saya lebih mudah mengajar orang yang tidak pintar. Kalau otak kiri
sudah kuat, susah berubahnya. Misal dia kuliah di akuntansi, yang feasible tidak feasible, udahndak berani-berani
dia. Usaha itu bukan perhitungan sebelumnya. Hitungan yang terjadi, itulah usaha. Banyak yang terjadi kita tidak tahu dan
tidak kita pikirkan sebelumnya. Saya di Primagama dulu kalau dipikir tidak rasional. Modal saya cuma Rp.300 ribu saja. Sekarang
asetnya sudah hampir Rp.100 milyar, kan? Rasionalnya di mana?
Tadi seorang direksi bank yang ingin membuat usaha.
Seperti dia, dihitung-hitung terus, selalu tidak positif. Akhirnya tidak berani buka usaha. Saya bilang, "jangan dihitung
terus!" Usaha itu dibuka, baru dihitung. Ini street smart. Kalau dihitung baru dibuka, ndak akan buka-buka usaha. Makanya,
yang membuat orang takut itu bukan sisi gelap, tapi justru sisi terang. Karena terang itu tahu hitung-hitungannya, tahu risikonya
gedhe, jadi takut. Kalau gelap, tidak tahu apa-apa, usaha itu tidak takut. Dihitung atau tidak dihitung itu sama saja kok.
Padahal entrepreneur harus berani ambil risiko Itulah, ambil risiko itu berarti harus gelap.
Maksudnya jangan terlalu banyak tahu. Setelah jalan, kita pakai ilmu street smart tadi. Street smart itu yang
melahirkan kecerdasan entrepreneur yang dibutuhkan untuk pemula usaha. Isi kecerdasan entrepreneur itu ya kecerdasan
emosional, spiritual, dan basisnya di otak kanan.
Bagaimana cara Anda merealisasikan
gagasan Mega Entrepreneur? EU ini saya yang buka dan pelatihannya saya yang mengajar sendiri. Saya bukan cari untunglah,
tapi semacam aktulisasilah buat saya. Karena saya ingin jadi Mega Entrepreneur tadi. Sehingga saya bela-belain, ndak harus
untung. Kalau nombok pun saya mau untuk memberikan dakwah tentang entrepreneurship ini. Itu yang saya lakukan, dan
sudah dua angkatan EU di lima kota. Perkembangan pesertanya cukup positif. Yang sama sekali tidak berani berusaha, kini jadi
berani.
Bagaimana tren kewirausahaan ke depan? Saya kira itu suatu keharusan.
Kalau negara ini mau maju, harus banyak pengusahanya. Kita belum ada kementrian yang khusus mengurusi wirausaha. Di Indonesia
banyak bisnis yang bisa dikembangkan menjadi franchise dan tidak harus yang mahal. Di Malaysia sudah ada kementriannya,
dan mentrinya mendorong mereka yang mau usaha franchise dsb.
Bagaimana entrepreneur
yang ideal itu? Ukuran ideal saya adalah dari banyaknya lapangan kerja yang diciptakan. Pengusaha yang bisa melahirkan
pengusaha-pengusaha baru. Bisnisnya kalau bisa yang baik-baiklah. Saya suka mengurusi bisnis yang langsung ke pasar. Yang
menilai dan menentukan bisnis saya ya pasar. Saya ndak model dengan bisnis lobi-lobi yang harus berhubungan dengan pemerintah.
Pernah mengalami pencerahan selama menjadi entrepreneur? Saya mengembangkan sisi spiritual
melalui dzikir atau meditasi. Bisnis itu, kalau bisa ya melibatkan yang "di atas". Tidak bisa berjalan dengan diri kita sendiri.
Maka saya kembangkan kecerdasan spiritual. Kalau menggunakan intuisi saja, hanya bisa menunjukkan sesuatu tujuan itu seperti
apa.Tapi kalau dzikir, melibatkan Tuhan, kuncinya justru membuat tujuan itu terjadi. Misalnya diramal orang kita tidak hoki.
Dengan dzikir itu bisa jadi hoki. Yang tidak baik jadi baik. Arah negatif bisa jadi positif.[]
(Wawancara ini pernah dimuat di Majalah BERwirausaha Edisi 2/Thn 1/2002)
|